Jumat, 27 Maret 2015
SEJARAH DESA SATRIA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Desa Satria merupakan sebuah desa yang masuk di wilayah Kecamatan Mootilango, Kabupaten Gorontalo, terletak di dataran rendah wilayah bagian Timur Kecamatan Mootilango, yang berbatasan dengan Desa Karyamukti, Desa Paris dan Desa Huyula.
Dewasa ini masih banyak masyarakat yang belum mengetahui asal-usul tentang Desa Satria, baik dari sejarah maupun cerita rakyat, mitos, legenda yang membahas tentang Desa Satria, termasuk nama-nama dan pengertian arti kata dari masing-masing dusun yang ada didalamnya, bahkan arti nama atau asal-usul nama desa di sekitar Desa Satria, perkembangan kehidupan masyarakatnya, baik sosial ekonomi, budaya, agama dan nama-nama tokoh agama Islam yang ada, juga nama-namaKepala Desa Satria dari masa ke masa.
Apabila masyarakat tidak mengenal dan tidak mengetahui sejarah desanya sendiri, maka dapat dipastikan 50 tahun kedepan masyarakat akan tenggelam ditelan sejarah kelam masuknya sejarah dan budaya asing, dan masyarakat akan kehilangan jati dirinya serta tidak akan pernah tahu bagaimana yang sebenarnya tentang sejarah daerahnya sendiri.
Pemerintah Desa akan mencoba untuk menyajikan tulisan ini tentang terbentukanya Desa Satria yang dikemas secara sederhana agar dapat dengan mudah untuk dipahami dan dimengerti oleh pembaca dengan harapan dapat membuka tabir rahasia dari Desa Satria tersebut yang kemudian dapat disumbangkan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan tidak dilupakan oleh generasi mendatang.
Sehingga sangat tepat apa yang dikatakan oleh Bung Karno sang Proklamator yang sekaligus sebagai Presiden R.I. pertama tentang Jasmerah (Jangan sekali-kali melupakan sejarah).
Kepala Desa, para sejarawan atau tokoh lokal untuk memperhatikan masalah yang berkaitan dengan sejarah Desa Satria, yang pada gilirannya dapat bermanfaat bagi generasi selanjutnya.
Sejarah desa sebagai hasil budaya manusia yang bersahaja, lebih banyak berupa cerita dari mulut ke mulut, berupa legenda, dongeng dan mitos yang oleh orang Barat dikatakan tidak riil, penuh dengan kegaiban, fantasi dan spekulasi. Kesukaran yang lain, pada umumnya sifat cerita adalah suci atau sakral dan tabu, sehingga diperlukan analisis yang cermat dalam usaha penelitian.
Dengan adanya kesukaran–kesukaran tersebut di atas, maka yang perlu dilakukan adalah dengan menggunakan approach multidimensional, agar dapat memungkinkan penelitian sejarah desa ini dapat tercapai, serta mendapatkan data historis.
Sesuai dengan pendapat Dr. Sartono Kartodirdjo, maka approach yang multidimensional ini, akan diperoleh data-data yang obyektif dan terhindar dari data-data yang subyektif.
Pemerintah Desa berkeyakinan, bahwa di Desa Satria masih banyak menyimpan bahan – bahan sejarah berpotensi dan ilmu pengetahuan yang belum banyak diungkap, sehingga tulisan ini diharapkan menggugah masyarakat, khususnya bagi masyarakat Desa Satria untuk mengenal sejarahnya sendiri.
Ahli Romawi yang bernama Cirero (106-43 SM) menyatakan : “History is the witnees of time, the torch of truth, the life of memory, the teacher of life and the messenger of antiquity”. (Sejarah itu adalah saksi dari waktu, obor dari kebenaran, kenang-kenangan dari hidup, guru dari kehidupan dan pesuruh dari zaman kuno).
Dari pernyataan tersebut, jelaslah bahwa sejarah Desa Satria juga merupakan saksi dari waktu, obor dari kebenaran, kenang-kenangan hidup bagi yang berkepentingan, guru bagi yang mau meneladani serta jelas merupakan pesuruh dari zaman kuno. Dengan berdasar pada pernyataan tersebut, Pemerintah Desa akan berusaha mengungkap apa yang sebenarnya pernah terjadi di Desa Satria.
Berdasarkan uraian di atas cukuplah bagi Pemerintah Desa untuk menyusun karya tulis ini dengan judul : SEJARAH DESA SATRIA.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas dapat Pemerintah Desa kemukakan, permasalahan yang hendak Pemerintah Desa bahas, yaitu : “Sejauh mana eksistensi sejarah Desa Satria sejak dulu hingga sekarang?”
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam Pemerintah Desa/penelitian ini adalah : Ingin mengetahui dan mendapatkan gambaran yang jelas tentang sejarah Sejarah Desa Satria
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat atau kegunaan yang diharapkan dari Pemerintah Desa dalam penelitian ini adalah :
1. Teoritis
Dengan adanya penelitian ini maka:
a. Dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi akademisi tentang sejarah.
b. Diharapkan dapat jadi bahan pemikiran bagi masyarakat, khususnya para sejarawan dalam mempelajari sejarah Desa Satria.
2. Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan penelitian yang berkaitan dengan sejarah Desa Satria.
E. Sistimatika Penulisan
Penyusunan dan pembahasan buku ini dibagi dalam 5 (lima) bab. Sedangkan tiap-tiap bab terbagi lagi dalam sub–sub bab. Adapun uraian bab demi bab secara singkat dapat diuraikan seperti di bawah ini.
Bab I merupakan Pendahuluan, yang memuat Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
Selanjutnya Bab II berisi mengenai Sejarah dan Letak Desa Satria dan menurut keadaannya, yang terbagi dalam sub bab, Demografi Desa, Keadaan sosial, keadaan ekonomi dan Kondisi Pemerintahan desa.
Bab III berisi mengenai Pemerintah dan Penguasa, yang terbagi dalam sub bab, yaitu Periodesasi Pemerintah dan Penguasa, Identifikasi Stakeholders, Pembangunan Desa Masa Lalu, Pembangunan Desa Saat Ini dan Kondisi Sosial Budaya.
Kemudian pada Bab IV merupakan Cerita Rakyat Desa Satria, yang berisi mengenai Legenda Desa Satria, Sejarah Desa Satria, Struktur Pemerintahan DesaSatriadan Perkembangan Agama Islam di Desa Satria.
Dilanjutkan Bab V merupakan Penutup, yang berisi Kesimpulan dan Saran.
BAB II
SEJARAH DAN LETAK DESA SATRIA
A. Pengertian Sejarah
Pengertian mengenai sejarah daerah masih mengandung persoalan – persoalan yang harus memerlukan penelitian, baik dari aspek teori maupun materinya. Oleh karena itu banyak uraian yang tersedia untuk diolah dan sangat menarik untuk membicarakannya, dan jika perlu untuk diseminarkan, baik oleh para ahli sejarah, tokoh agama, tokoh masyarakat maupun warga masyarakat, agar didapat suatu kesimpulan yang benar atau minimal mendekati kebenaran tentang sejarah Desa Satria.
Pada dasarnya, sejarah dapat diartikan menjadi beberapa identifikasi sebagai berikut :
1. Kata sejarah yang berasal dari bahasa Arab "SYAJARATUN"
yang berarti pohon kehidupan walaupun dalam bahasa Arab sendiri mengartikan ilmu yang mempelajari kisah tentang masa lalu dinamakan TARIKH.
2. Kata sejarah dari bahasa Inggris "HISTORY" yang sebenarnya kata HISTORY itu sendiri berasal dari bahasa Yunani ISTORIA yang berarti orang pandai.
3. Kata sejarah dalam bahasa Jerman dan Belanda. Dalam bahasa Jerman, kata sejarah berasal dari kata GESCHICHTE dan dalam bahasa Belanda berasal dari kata GESCHIDENIS. Dalam bahasa Jerman dan Belanda mempunyai arti yang sama, yaitu "kejadian yang dibuat oleh manusia".
Pengertian dan definisi sejarah menurut beberapa ahli :
1. Menurut W.J.S Poerwodarminta dalam kamus umum bahasa Indonesia:
Sejarah mengandung 3 pengertian, yaitu :
* Kesusasteraan lama, sislsilah, dan asal usul.
* Kejadian yang benar-benar terjadi di masa lampau.
* Ilmu pengetahuan.
2. Menurut Abramowitz (Burher, 1970:42)
"History as a chronology of events" yang berarti bahwa sejarah merupakan sebuah kronologi atas suatu kejadian.
3. Menurut Sunnal dan Haas (1993: 278)
"History is a chronological study that interprets and gives meaning to events and applies systematic methods to discover the truth" yang berarti: sejarah merupakan studi kronologis yang menafsirkan dan memberikan arti peristiwa dan berlaku metode sistematis untuk menemukan kebenaran.
4. Menurut Costa (Burger, 1970: 44)
Sejarah dapat didefinisikan sebagai "record of the whole human experience". Dimana pada hakikatnya sejarah merupakan catatan seluruh pengalaman, baik secara individu maupun kolektif bangsa/nationdimasa lalu tentang kehidupan umat manusia.
5. Menurut Cleveland (Burger, 1970; 46)
"History is viewed as a mean by which to understand human life" yang berarti bahwa sejarah itu dipandang sebagai maksud untuk memahami kehidupan manusia.
6. Menurut Sartono Kartodirdjo
Sejarah dapat didefinisikan sebagai berbagai bentuk penggambaran pengalaman kolektif di masa lampau. Setiap pengungkapannya dapat dipandang sebagai suatu aktualisasi atau pementasan pengalaman masa lampau. Menceritakan suatu kejadian ialah cara membuat hadir kembali (dalam kesadaran) peristiwa tersebut dengan pengungkapan verbal.
7. Menurut Carr (1982: 30)
Menyebutkan bahwa "history is a continuous process of interaction between the historian and his facts, and undending dialogue between the present and the past" yang berarti bahwa sejarah merupakan proses berkesinambungan dari interaksi antara sejarawan dan fakta-fakta serta dialog antara masa kini dan masa lalu.
Selain pengertian sejarah menurut para ahli tersebut di atas, masih ada pendapat pakar lainnya, antara lain :
a. Pengertian Sejarah Menurut Aristoteles,
History is a system that examines the incidence of early and arranged in chronological form. At the same time, according to his history is also the past events that have a record, the records or concrete evidence.
Sejarah merupakan satu sistem yang meneliti suatu kejadian sejak awal dan tersusun dalam bentuk kronologi. Pada masa yang sama, menurut beliau juga Sejarah adalah peristiwa-peristiwa masa lalu yang mempunyai catatan, rekod-rekod atau bukti-bukti yang konkrit.
b. Pengertian Sejarah Menurut R. G. Collingwood,
History is a form of inquiry about the things that have been done by humans in the past.
Sejarah ialah sebuah bentuk penyelidikan tentang hal-hal yang telah dilakukan oleh manusia pada masa lampau.
c. Pengertian Sejarah Menurut Drs. Sidi Gazalba
Sejarah sebagai masa lalu manusia dan seputarnya yang disusun secara ilmiah dan lengkap meliputi urutan fakta masa tersebut dengan tafsiran dan penjelasan yang memberi pengertian dan kefahaman tentang apa yang berlaku.
Diberbagai daerah banyak terdapat cerita-cerita, baik yang berupa dongeng, legenda, mitos maupun yang lainnya yang sampai sekarang masih belum ada kata sepakat dari para ahli sejarah untuk dapat disebut sebagai sejarah daerah. Sebagian ahli sejarah berpendapat bahwa cerita daerah, baik yang berupa dongeng, legenda maupun mitos mengandung nilai historis atau latar belakang yang mungkin pernah terjadi pada masa lalu.
Adalah cerita rekaan (fiksi) yang didasarkan pada peristiwa sejarah, di mana Pemerintah Desa bisanya dalam bentuk macatat (tembang/puisi/syair). Salah satu yang sangat terkenal adalah Tanah Jawa, di mana ini tidak pernah lepas dalam setiap kajian mengenai hal-hal yang terjadi di tanah Jawa.
Meskipun sarat dengan peristiwa sejarah, sifatnya yang fiksi menempatkan sebagai referensi sejarah-imajinatif. memiliki sifat religio-magis dan pekat dengan imajinasi. Sifat itu membuat ahli sejarah berada dalam ragu untuk memakai sebagai sumber sejarah yang sahih, dan penggunaannya dalam menggali sejarah menuai pro dan kontra. S. Margana dalam buku Pujangga Jawa dan Bayang-Bayang Kolonial (2004) mengungkapkan merupakan problematik dalam historiografi modern. Para sejarawan kerap memahami sebagai tulisan atau sumber sejarah dalam tendensi subjektif. Para sejarawan yang menolak peran sebagai sumber sejarah memiliki argumen bahwa rentan dengan bisa dalam menggambarkan fakta-fakta sejarah. cenderung menjadi percampuran dari fakta dan mitologi. Para sejarawan yang akomodatif justru menerapkan metode dan metodologi tertentu untuk menjadikan sebagai sumber informasi mumpuni ketimbang sumber-sumber kolonial.
Terlepas dari pro-kontra tersebut, Tanah Gorontalo merupakan jejak besar dalam membaca (sejarah) Gorontalo, salah satu diantaranya adalah (sejarah) Desa Satria.
B. Letak Desa Satria
Desa Satria terletak disebelah Timur Ibu Kota Kecamatan Mootilango kabupaten gorontalo, yang memanjang dari utara keselatan. Terletak pada 122º31’00’’ - 122º32’00’’ BT dan 0º44’00’’ - 0º42’32’’ LU dengan ketinggian Diatas Permukaan Laut (DPL) ±50 M serta luas wilayah ± 3.24 Km. Suhu rata-rata harian 27 – 30 °C dan curah hujan rata-rata 2000/3000 mm/tahun. Keadaan tipografi didominasi oleh dataran rendah dan hanya terdapat bukit kecil yang rata-rata memiliki ketinggian ±50 M. Dan memiliki sungai yang cukup lebar ± 50 M yang memanjang dari Utara ke Selatan.
Secara adminitratif Desa Satria terbagi 2 (Dua) wilayah Dusun yaitu :
1) Dusun Motobuloo
2) Dusun Tonggu – tonggu
Adapun batas-batas Desa Satria sebagai berikut:
a. Utara : Desa Huyula
b. Selatan : Desa Karya Mukti
c. Barat : Desa Paris
d. Timur : Desa Karya Mukti
Wilayah Desa Satria disebelah Utara berbatasan dengan Desa Huyula Kecamatan Mootilango Kab Gorontalo, disebelah Timur berbatasan dengan Desa Karya Mukti, disebelah Selatan berbatasan dengan Desa Karya Mukti dan disebelah Barat berbatasan dengan Desa Paris Kecamatan Mootilango.
Dilihat dari tata guna tanah Desa Satria terbagi sebagai berikut :
- Sawah irigasi setengah teknis 0 Ha,
- Sawah tadah hujan 76 Ha,
- Tegal/lading 176,2 Ha,
- Pemukiman 0,68 Ha,
- Tanah Kas Desa 0,75 Ha,
- Tanah infrastruckture perkantoran dan gedung – gedung Pemerintahan 12,05 Ha
- Dan jalan desa 7 Km.
secara kesulurahan luasan tanah seluas 324,29 Ha, Dari Segi orbitasi atau jarak dengan pusat pemerintahan Kecamatan Mootilango kurang lebih 2,05 Km, jarak dengan Kabupaten Gorontalo 54 Km dan jarak tempuh dari Desa Satria menuju Provinsi 62 Km. Kenderaan umum yang digunakan sebagai sarana angkutan ke pusat pemerintahan adalah kenderaan bermotor.
Gambar umum demokrafis Desa Satria dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Jumlah Penduduk dan Kepala Keluarga Desa Satria
NO TINGKAT PENDUDUK JUMLAH JIWA
1. Jumlah Penduduk Desa 1.238
3. Laki – laki 620
4. Perempuan 618
5. Jumlah Menurut KK 342 KK
6. Jumlah Menurut Umur :
7. Laki : 233
8. 0 – 15 Tahun 349
9. 16 – 55 Tahun 889
10. 55 tahun keatas 198
11. Perempuan : 193
12. 0 – 15 Tahun 396
13. 16 – 55 Tahun 850
14. 55 tahun keatas 188
Jumlah Penduduk Desa Satria
Menurut Jenis Pekerjaan
NO PEKERJAAN JUMLAH
1. BURUH TANI 29
2. PETANI 281
3. PEDAGANG 18
4. TUKANG KAYU 4
5. PENJAHIT 3
6. PNS 13
7. TNI/POLRI 0
8. PERANGKAT DESA 8
9. PENGRAJIN 4
10. PENGRAJIN 6
Jumlah Penduduk Desa Satria
Menurut Jenis Kesejahteraan Keluarga
NO KESEJAHTERAAN JUMLAH
1. KELUARGA KK SEJAHTERA 65
2. KELUARGA KK KAYA 26
3. KELUARGA KK SEDANG 174
4. KELUARGA KK MISKIN 170
Jumlah Penduduk Desa Satria
Menurut Agama yang Dianut
NO AGAMA JUMLAH PENGANUT
1. ISLAM 1223
2. KRISTEN 15
3. BUDHA -
4. HINDU -
5. KATOLIK -
T O T A L
Jumlah Penduduk Desa Satria
Menurut Tingkat Pendidikan
NO JENIS PENDIDIKAN JUMLAH
1. Tidak tamat SD / Sederajat 347
2. SD / Sederajat 424
3. SLTP / Sederajat 211
4. SLTA / Sederajat 63
5. D1 , D2, D3, D4, S1 , S2 dan S3 17
C. Keadaan Sosial
Kehidupan masyarakat masih tergolong pada masyarakat dibawah garis menengah kebawah khususnya masyarakat yang tergolong keluarga miskin yang berdasarkan data statistik di tahun 2014 masih mencapai lebih dari 100 kepala keluarga miskin sebagai pengundang masalah ditinjau dari aspek kondisi sosial ekonomi yang ada sangat memprihatinkan. Adapun penyebab dari kemiskinan, dikarenakan pendidikan dan keterampilan pada umumnya masih sangat rendah. Pada umumnya mata pencaharian masih berkisar sebagai pekerja buruh bangunan, buruh tani. Keadaan ini akan mempengaruhi kondisi sosial keluarga, mental spritual keluarga maupun mental dari anak-anak keluarga, sehingga kehidupannya agak terganggu dan tidak bisa berkembang secara layak dan hidup tidak secara wajar.
Mengingat potensi yang dimiliki antara lain minat untuk bekerja dan berusaha cukup besar maka secara eksternal lembaga-lembaga Desa dan organisasi sosial sementara membantu dan membina untuk memberdayakan kelompok masyarakat yang tergolong tidak mampu.
Jumlah KK Pra Pasejahtera mendominasi yaitu 40 % dari total KK, KK sejahtera 35 %, KK Miskin 17 % KK, Kaya 8 %. . Dengan banyaknya KK prasejahtera inilah maka Desa Satria termasuk dalam desa tertinggal
D. KONDISI EKONOMI
Dilihat dari tata guna yang dimanfaatkan oleh penduduk Desa Satria yang sebagian besar adalah lahan pertanian,menunjukkan bahwa masyarakat mayoritas bekerja sebagai petani dan buruh tani. Tanaman unggulan meliputi tanaman pangan yaitu padi dan jagung serta sayur-sayuran.
Selain komoditas pertanian, sebagian penduduk juga bekerja mengembangkan sector industri kecil antara lain pembuatan Batu-bataatau batako, anyam-anyaman, Gula Aren, Kerawang dan Kopia keranjang.
Mengingat pemasaran hasil pertanian relative dekat maka banyak pula penduduk desa sebagai pedagang beras, jagung dan sayur mayur. Mereka memperoleh dagangannya langsung dari petani yang kemudian dipasarkan melalui pedagang keliling yang menjual hasil bumi dari Desa Satria langsung ke konsumen ataupun pasar terdekat.
Di antara mata pencaharian tersebut di atas, penduduk/masyarakat juga berprofesi sebagai guru, karyawan swasta, jasa transportasi penambang emas, batu dan pasir.
Hal yang dikembangkan sebagai salah satu usaha untuk mendobrak perekonomian masyarakat untuk mendukung usaha peningkatan hasil usaha di bidang pertanian dan usaha penyelamatan lingkungan di masing-masing dusun yang di desa adalah membentuk kelompok tani Persatuan Petani Pemakai Air (P3A) sesuai dengan usaha masing-masing yang ada di dalam kelompok masyarakat.
E. Pembagian Wilayah Desa
Desa Satriasetelah dimekarkan pada tahun 1994 hanya terbagi 2 (dua) dusun yakni Dusun Botobuloo dan Dusun Tonggu – tonggu.
Adapun batas-batas Desa Satriaadalah sebagai berikut :
o Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Huyula.
o Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Karyamukti
o Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Karyamukti
o Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Desa Paris.
Jumlah penduduk pada waktu itu adalah 342 KK dan jumlah jiwa 1238 yang tersebar di enam dusun dengan rincian sebagai berikut :
F. Struktur Pemerintahan
Kades : DARWIN BAKRI
Sekdes : IMRAN AKASE
Kaur Pemerintahan : SUNARDI
Kaur Pembangunan : ANGRIS LIMONU
Kaur Umum : ITON ABAS
Bendahara Desa : ELEN LIHILMI
- Nama anggota BPD
Ketua : BETI K. BUNA
Wakil Ketua : RINTO NAWAY
Sekretaris : OLIS K. UNA
Anggota : 1. ABAS HULOPANGO
2. MUHDIN WAHIDJI
- Nama – anggota LPM
Ketua : SUN HARUN
Sekretaris : DJUDESTI JAELANI
Bendahara : ARLIN HARUN
Anggota : 1. HADIJAH KARIM
2. NANGSIH ZEES
- Nama Dusun dan Kepala Dusun
Dusun Motobuloo : MARYAM MANHIA
Dusun Tonggu – tonggu : WARNI AMARA
BAB III
PEMERINTAH DAN PENGUASA
A. Periodesasi Pemerintah Dan Penguasa
Periodesasi pemerintahan Desa Satria Kecamatan Mootilango Kabupaten Gorontalo yang menjabat sebagai Kepala Desa adalah sebagai berikut :
No Periode Nama Kepala Desa Keterangan
1 1994 s/d 1996 YUSUF N. DAU Definitif
2 1996 s/d 2003 IMRAN YUSUF Definitif
3 2003 FARID DJAFAR Plt
4 2003 s/d 2009 DARWIN BAKRI Definitif
5 2009 AKUB KAI Plt ( 6 Bulan )
6 2009 s/d 2015 DARWIN BAKRI Definitif
B. Identifikasi Stakeholders
1. PKK
Organisasi PKK Desa Satria aktif dalam kegiatannya sampai sekarang, baik pertemuan pengurus PKK dalam setiap bulan maupun pertemuan selapanan PKK dengan warga yang dilaksanakan pada setiap hari minggu pada minggu ketiga tiap bulannya. Jumlah pengurus PKK Desa Satria adalah 68 orang.
2. Tokoh Masyarakat
Dalam setiap pelaksanaan musyawarah desa, Pemerintah Desa Satria selalu menyertakan Tokoh Masyarakat dalam mengambil suatu mufakat maupun keputusan yang berguna untuk kepentingan warga masyarakat pada umumnya.
3. Kelompok Tani
Kelompok tani desa Satria ada dua yaitu : kelompok tani, kelompok ikan dan kelompok ternak yang mengurus dan membudidayakan fungsi kelompok masing – masing dalam meningkatkan pendapatan dan peningkatan ekonominya.
4. P3A
P3A Satria adalah kelompok P3A yang ada di Desa Satria mengurus tata guna air dalam pengolahan kebutuhan persawahan, perikanan dan kepentingan lainnya
5. Pengusaha
Jumlah pengusaha Desa Satria sangat minim dan bergerak di bidang industri barang kelontong bahan harian.
6. Pedagang
Pedagang di Desa Satria cukup banyak yang mayoritas petani, pedagang warung kelontong, warung makanan kecil dan pedagang keliling.
7. PNS
PNS Desa Satria sangat sedikit jumlahnya yang terdiri dari guru dan tenaga tekhnis lainnya.
8. Buruh terdiri dari buruh tani, buruh pabrik
Buruh tani desa Satria sangat dominan karena potensi strategis adalah pertanian, sedangkan buruh pabrik kebanyakan bekerja di pabrik gula.
9. Perangkat Desa
Jumlah aparat pemerintah Desa Satria sebanyak 8 orang
10. Lembaga Pemberdayaan Masyarakat
Jumlah pengurus Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD) terdapat 5 orang yang diketuai oleh Bapak Sun Harun
14. Badan Permusyawaratan Desa
Sebagai lembaga desa dan mitra kerja pemerintah desa Satria, BPD sangat pro aktif terhadap jalannya roda pemerintahan desa disegala bidang, baik dalam bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.
15. Kelompok pengajian
Kelompok pengajian dibentuk disetiap pekan yang kegiatannya berupa pengajian rutin, pembacaan ayat – ayat Al-Quran bergilir dari rumah ke rumah.
C. Pembangunan Desa Masa Lalu
Pembangunan Desa Satria pada masa lalu mengandalkan pembangunan yang bersumber dari partisipasi masyarakat berupa tenaga dan kebutuhan-kebutuhan yang lain. Pembangunan dilakukan gotong royong, semua pekerjaan dipikul secara bersama-sama seluruh masyarakat Desa. Salah satu partisipasi masyarakat adalah tanah dan pembangunan Balai Desa Satria. Contoh lainnya adalah pembangunan Masjid, Mushola dan Jalan serta Pagarisasi semuanya mengandalkan gotong royong.
D. Pembangunan Desa Saat Ini
Pada tahun 2003 Desa Satria mendapat Bantuan 15 Unit Rumah Layak Huni dari Pemerintah Daerah bagi Kepala Keluarga Miskin dan setiap tahun mendapat bantuan keuangan Alokasi Dana Desa (ADD), penguatan kelembagaan Desa serta tingkat kegotong royongan dan partisipatif asyarakat dalam membangun desa sangat tinggi.
Ciri khas demikian terus dipertahankan sampai sekarang, sehingga berbagai bantuan dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten Gorontalo mengalir terus ke Desa membuat warga masyarakat semakin giat melakukan berbagai kegiatan pembangunan.
Disamping itu Desa Satria juga sering menjadi tujuan mahasiswa dari beberapa Perguruan Tinggi yang ada di Daerah.
Dalam hal pembangunan fisik Desa Satria mendapatkan proyek yang cukup banyak meliputi pembenahan lingkungan perumahan, pembenahan jalan, pembenahan / normalisasi sungai penunjang sarana dan prasarana pedidikan, serta penunjang penguatan dan kontervasi lingkungan.
Pembangunan yang telah terbangun selama masa jabatan pemerintahan adalah sebagai berikut
No Tahun Kegiatan Pembangunan Keterangan
1 2008 Pembangunan Balai Desa APBD
2 2005 Pembangunan Mesjid Al Muhajirin Dsn Motobuloo Swadaya+APBD
3 2003 Pembangunan Masjid Nurut Taqwa Dsn Tonggu – tonggu Swadaya +APBD
4 2008 Pembangunan Rumah Sehat 2 Unit APBD
5 2013 Pembangunan Irigasi APBD
6 2003 Pembangunan MCK APBD
7 2012 Pembuatan Jalan Usaha Tani Dusun Motobuloo 796 M PNPM – MP
8 2010 Pembuatan Jalan UsahaDusun Motobuloo Tani 875 M PNPM – MP
9 2011 Pembuatan Jalan Usaha Dusun Tonggu – tonggu Tani 769 M PNPM – MP
10 2005 Pembangunan Mahyani 15 Unit APBD
11 2011 Pembangunan PUSTU APBN
12 1986 Pembangunan SDN 10 Mootilango APBN
13 2003 Pembangunan MTs An – Nuur Mootilango APBN
14 2009 Pembangunan PAUD/TK PNPM – MP
15 2011 Pembuatan Drainase PNPM – MP
16 2007 Pembangunan Mahyani 30 Unit APBD
E. Kondisi Sosial Budaya
a. Kondisi Sosial
Kondisi masyarakat Satria bisa dikatakan masyarakat yang Agamis dan dinamis hal ini dapat dilihat dari banyaknya kelompok-kelompok Yasinan dan Tahlil Kelompok Pengajian, Arisan, Olahraga dan Kelompok Tani serata warga yang kuat dan mandiri. Masyarakat Satria juga bisa dikatakan masyarakat Agraris, karena mayoritas penduduknya petani, hampir bisa dikatakan seluruhnya petani, walaupun stabilitasnya mayoritas buruh tani. Kondisi petani, buruh tani masyarakat Satria termasuk petani yang nekat punya etos kerja yang tinggi.
b. Kondisi Budaya
Kondisi budaya di desa Satria terdiri dari 2 budaya yakni Gorontalo, dan Jawa, namun budaya adat tradisi yang mendominasi adalah adat dan kebudayaan Gorontalo. Masyarakat Satria masih mengutamakan nilai-nilai persatuan dan gotong royong, nilai-nilai tersebut masih menjiwai masyarakat Satria dalam kegiatan sosial, keagamaan dan kegiatan seni budaya masing budaya dan adat istiadat.
1. Dalam perilaku masyarakat gorontalo khususnya di Desa Satria Kecamatan Mootilango Kabupaten Gorontalo,terdapat pernikahan Adat yang perlu di lestarikan,karena mengandung nilai – nilai budaya yang tinggi.Adat Gorontalo ini semakin hari semakin tanpa melewati lagi prosesi adat gorontalo terkontaminasi dengan perubahan zaman.Terlihat dimana–mana pernikahan di Gorontalo.Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Diantaranya, banyak pemuda zaman sekarang yang enggan mempelajari adat pernikahan gorontalo.Sehingga warisan leluhur ini semakin terlupakan,karena tidak adanya regenerasi penerus Adati lo Hulondhalo.Pernikahan Adat Gorontalo memiliki ciri khas tersendiri.Karena penduduk Provinsi Gorontalo memiliki penduduk yang hampir seluruhnya memeluk agama Islam,sudah tentu adat istiadatnya sangat menjunjung tinggi kaidah-kaidah Islam.Untuk itu ada semboyan yang selalu dipegang oleh masyarakat Gorontalo yaitu, “Adati hula hula Sareati, Sareati hula hula to Kitabullah” yang artinya, Adat Bersendikan Syara,Syara Bersendikan Kitabullah.Pengaruh Islam menjadi hukum tidak tertulis di Gorontalo sehingga mengatur segala kehidupan masyarakatnya dengan bersendikan Islam.Termasuk adat pernikahan di Gorontalo yang sangat bernuansa Islami.Prosesi pernikahan dilaksanakan menurut Upacara adat yang sesuai tahapan atau Lenggota Lo.
Dalam upacara perkawinan adat gotontalo berlangsung di dua tempat yaitu di tempat mempelai pria dan wanita, masing masing keluarga mempelai mengadakan pesta dirumah masing-masing. Dalam pesta tersebut selalu berlangsung meriah hingga berhari hari lamanya. Beberapa hari sebelum pesta dilangsungkan semua keluarga dan kerabat telah datang berkumpul untuk membantu pelaksanaan pesta tersebut, baik ibu-ibu maupun bapak bapak selalu datang beramai- ramai.Dalam pesta itu mempelai pria dan wanita menggunakan pakaian adat Bili’u dengan tempat pelaminan yang juga dihias menggunakan adat Gorontalo.Pesta yang berlangsung biasanya 3 hari itu dengan masing masing mempunyai sebutan setiap hari yang berbeda.
Tolobalango adalah peminangan secara resmi yang dihadiri oleh pemangku adat Pembesar Negeri dan keluarga melalui juru bicara pihak keluarga pria atau Lundthu Dulango Layio dan juru bicara utusan keluarga wanita atau Lundthu Dulango Walato,Penyampaian maksud peminangan dilantunkan melalui pantun-pantun yang indah. Dalam Peminangan Adat Gorontalo tidak menyebutkan biaya pernikahan (Tonelo) oleh pihak utusan keluarga calon pengantin pria, namun yang terpenting mengungkapkan Mahar atau Maharu dan penyampaian acara yang akan dilaksanakan selanjutnya.Pada waktu yang telah disepakati dalam acara Tolobalango maka prosesi selanjutnya adalah mengantar harta atau antar mahar, didaerah gorontalo disebut Depito Dutu yang terdiri dari 1 paket mahar, sebuah paket lengkap kosmetik tradisional Gorontalo dan kosmetik modern, ditambah seperangkat busana pengantin wanita, serta bermacam buah-buahan dan bumbu dapur atau dilonggato.Semua mahar ini dimuat dalam sebuah kendaraan yang didekorasi menyerupai perahu yang disebut Kola–Kola.
2. Nuansa Warna Bagi Masyarakat Gorontalo
Dalam adat istiadat gorontalo,setiap warna memiliki makna atau lambang tertentu, karena itu dalam upacara pernikahan masyarakat gorontalo hanya menggunakan empat warna utama, yaitu merah, hijau, kuning emas,dan ungu.Warna merah dalam masyarakat gorontalo bermakna keberanian dan tanggung jawab,hijau bermakna Kesuburan kesehjateraan, kedanaian dan kerukunan, kuning emas bermakna kemulian, kesetiaan, kesabaran dan kejujuran sedangkan warna ungu bermakna keanggunan dan kewibawaan. Pada umumnya masyarakat Gorontalo enggan memakai pakai warna coklat karena coklat melambangkan tanah , karena itu bila mereka ingin memakai pakaian warna gelap, maka mereka akan memilih warna hitam yang bermakna keteguhan dan Ketuhanan Yang Maha Esa , warna putih bermakna kesucian dan kedudukan , karena itu masyarakat gorontalo lebih suka mengenakkan warna putih bila pergi ke tempat perkebungan atau kedukaan atau tempat ibadah (masjid),biru muda sering digunakan pada saat peringatan 40 hari duka,sedangkan biru tua digunakan pada peringatan 100 hari duka.Dalam adat perkawinan Gorontalo sebelum hari H dilaksanakan dutu, dimana kerabat pengantin pria akan mengantarkan harta dengan membawakan buah-buahan , seperti jeruk , nangka ,nenas , tebu , setiap buah yang dibawah juga punya makna tersendiri misalnya buah jeruk berkmakna bahwa pengantin harus merendahkan diri, duri jeruk bermkana bahwa pengantin harus menjaga diri dan rasanya yang manis bermakna bahwa pengantin harus menjaga tata krama atau sifat manis yang disukai orang .nenas durinya juga bermakna bahwa pengantin harus menjaga diri dan begitu juga rasanya yang manis.nangka dalam bahasa gorontalo langge loo olooto , yang berbau harum dan berwarna kuning emas yang bermakna pengantin harus mempunyai sifat penyayang dan penebar keharuman.Tebu warna kuning bermakna pengantin harus menjadi orang yang disukai dan teguh dalam pendirian.
3. Tarian
Tarian ini yang cukup terkenal di suku Gorontalo seperti,Tari Bunga,Tari Polopalo,Tari Danadana, Zamrah,dan Tari Langga.Lagu-lagu daerah Gorontalo yang cukup dikenal oleh masyarakat Gorontalo adalah Hulandalo Lipuu (Gorontalo Tempat Kelahiranku),Ambikoko (nama orang),Mayiledungga (Telah Tiba),Mokarawo (Membuat Kerawang),Tobulalo Lo Limuto (Di Danau Limboto),dan Binde Biluhuta (Sup Jagung).
Seperti halnya daerah lain di Indonesia,orang Gorontalo memiliki rumah adatnya sendiri, yang disebut Bandayo Poboide.Rumah adat ini terletak di tepat di depan Kantor Bupati Gorontalo, Jalan Jenderal Sudirman, Limboto.Selain itu,masyarakat Gorontalo juga memiliki rumah adat yang lain,yang disebut Dulohupa,yang terletak di di Kean Limba U2,Kecamatan Kota Selatan,Kota Gorontalo.Rumah adat ini digunakan sebagai tempat bermusyawarat kerabat kerajaan pada masa lampau.
Dulohupa merupakan rumah panggung yang terbuat dari papan, dengan bentuk atap khas daerah Gorontalo.Pada bagian belakang ada ajungan tempat para raja dan kerabat istana untuk beristirahat atau bersantai sambil melihat kegiatan remaja istana bermain sepak ragaRumah adat dengan seluas tanah kurang lebih lima ratus ini dilengkapi dengan taman bunga,serta bangunan tempat penjualan sovenir, dan ada sebuah bangunan garasi bendi kerajaan yang bernama Talanggeda.
Meriam Bambu (dalam bahasa Gorontalo Bunggo)
Bunggo terbuat dari bambu pilihan yang setiap ruas dalamnya,kecuali ruas paling ujung, dilubangi.Di dekat ruas paling ujung diberi lubang kecil yang diisi minyak tanah.Lubang kecil itu sebagai tempat menyulut api hingga bisa mengeluarkan bunyi letusan.Walima adalah hasil karya seni tinggi yang dipersiapkan berbulan-bulan,memerlukan kesabaran yang tinggi untuk mengerjakannya serta membutuhkan biaya yang lumayan besar.
4. Kesenian dan Kebudayaan Gorontalo
Indonesia memang memiliki beraneka ragam kesenian dan kebudayaan, dari setiap daerah yang ada di Indonesia memiliki kesenian dan kebudayaan yang berbeda-beda. Semua itu tidak dijadikan sebuah permasalahan dan perpecahan antar warga negara Indonesia. Dengan mengetahui kesenian dan kebudayaan yang ada di Indonesia menjadikan kita lebih tahu betapa kayanya negara Indonesia ini karena kesenian dan kebudayaan yang beraneka ragam di setiap daerahnya.
Kali ini saya akan mencoba untuk membuat dan menjelaskan beberapa kesenian dan kebudayaan yang ada di Gorontalo. Gorontalo merupakan sebuah provinsi yang ada di Pulau Sulawesi. Dahulu Gorontalo merupakan bagian dari Sulawesi Utara, namun kini dia memisahkan dirinya dari Sulawasi Utara pada tahun 2001. Gorontalo dikenal sebagai salah kota perdagangan, pendidikan, dan pusat pengembangan kebudayaan Islam di Indonesia Timur. Sejak dulu Gorontalo dikenal sebagai Kota Serambi Madinah. Hal itu disebabkan pada waktu dahulu Pemerintahan Kerajaan Gorontalo telah menerapkan syariat Islam sebagai dasar pelaksanaan hukum, baik dalam bidang pemerintahan, kemasyarakatan, maupun pengadilan.
Gorontalo memiliki berbagai macam kesenian dan kebudayaan, dan berikut beberapa kesenian dan kebudayaan yang berasal dari Gorontalo :
- Bahasa
Orang Gorontalo menggunakan bahasa Gorontalo, yang terbagi atas tiga dialek, dialek Gorontalo, dialek Bolango, dan dialek Suwawa. Namun kali ini yang bisa digunakan yaitu dialek Gorontalo
- Pakaian Adat
Gorontalo memiliki pakaian khas daerah sendiri baik untuk upacara perkawinan, khitanan, baiat (pembeatan wanita), penyambutan tamu, maupun yang lainnya. Untuk upacara perkawinan, pakaian daerah khas Gorontalo disebut Bili’u atau Paluawala. Pakaian adat ini umumnya dikenal terdiri atas tiga warna, yaitu ungu, kuning keemasan, dan hijau.
- Alat Musik
Alat Musik asal Gorontalo bernama Polopalo, alat musik ini terbuat dari bambu dan di iket menggunakan tali yang bentuknya menyerupai garputala raksasa. Cara memainkanya yaitu dengan memukulkan Polopala ke lutut dengan irama yang beraturan.
- Tari Tradisional
Gorontalo memiliki beraneka ragam tari tradisional yang berasal dari wilayah tersebut :
• Tari Sarode
Tari Saronde adalah tari pergaulan keakraban dalam acara resmi. Tarian ini diangkat dari tari adat malam pertunangan pada upacara adat perkawinan daerah Gorontalo. Saronde sendiri terdiri dari musik dan tari dalam bentuk penyajiannya. Musik mengiringi tarian Saronde dengan tabuhan rebana dan nyanyian vokal, diawali dengan tempo lambat yang semakin lama semakin cepat. Dalam penyajiannya, pengantin diharuskan menari, demikian juga dengan orang yang diminta untuk menari ketika dikalungkan selendang oleh pengantin dan para penari dan diiringin oleh musik khas suara rebana
• Tari Dana-dana
Tari Dana-dana merupakan Tarian pergaulan remaja gorontalo yang berkembang dari masa kemasa, tarian ini melambangkan cinta kasih dan kekeluargaan
• Warna
Dalam adat – istiadat Gorontalo, setiap warna memiliki makna atau lambang tertentu. Karena itu, dalam upacara pernikahan masyarakat Gorontalo hanya menggunakan empat warna utama, yaitu merah, hijau, kuning emas, dan ungu. Warna merah dalam masyarakat adat Gorontalo bermakna keberanian dan tanggung jawab; hijau bermakna kesuburan, kesejahteraan, kedanaian, dan kerukunan; kuning emas bermakna kemuliaan, kesetian, kebesaran, dan kejujuran sedangkan warna ungu bermakna keanggunan dan kewibawaan.
- Upacara Adat
Desa Satria Kecamatan Mootilango memiliki upacara adat yang biasanya di lakukan oleh masyarakat Gorontalo dalam acara terntentu misalnya
• Adati Mo Polihu Lo Limu
Adat ini ditunjukkan untuk anak perempuan yang menginjak usia 2 tahun dimana seorang anak perempuan tersebut menjalani prosesi mandi kembang yang bercampur lemon atau jeruk dengan tumbuhan harum lainnya dipangkuan ibu yang melahirkan, bermaksud untuk khitanan atau mengkhitankan anak wanita, sebagai bukti keislaman seorang wanita sehingga agenda sakral tersebut yang harus dilalui oleh anak perempuan pada usia balita.
• Upacara adat Molonthalo
Molontalo atau raba puru bagi sang istri yang hamil 7 bulan anak pertama, merupakan pra acara adat dalam rangka peristiwa adat kelahiran dan keremajaan. Acara Molonthalo ini merupakan pernyataan dari keluarga pihak suami bahwa kehamilan pertama adalah harapan yang terpenuhi akan kelanjutan turunan dari perkawinan yang syah. Serta merupakan maklumat kepada pihak keluarga kedua belah pihak, bahwa sang istri benar-benar suci dan merupakan dorongan bagi gadis-gadis lainnya untuk menjaga diri dan kehormatannya.
- Kerajinan Tangan
Sebagian masyarakat Gorontalo bekerja sebagai pengrajin anyaman, seperti peci anyaman yang terbuat dari kayu keranjang karena sebagian besar warga Gorontalo beragama Muslis dan peci tersebut bertuliskan Provinsi Gorontalo
- Makanan Khas Gorontalo
Binte Biluhuta merupakan makanan sejenis masakan sup yang rasanya segar, gurih, sehingga sangat cocok dinikmati pada saat cuaca dingin, terutama bagi mereka yang sedang flu dan lebih lezat ketika disajikan selagi hangat
Sudah di jelaskan beberapa kesenian dan kebudayaan yang ada di Provinsi Gorontalo. Dengan mengetahui kesenian dak kebudayaan daerah ini menambah ilmu bagi saya dan bagi kalian yang ingin mengetahui kesenian dak kebudayaan asli Indonesia khussusnya daerah Gorontalo. Dan masih banyak kesenian dak kebudayaan yang ada di Gorontalo. Semua tu dapat di cari dan dilihat melalui browsing internet. Dan tugas kita sebagai mahasiswa dan sebagai penerus bangsa kita wajib untuk menjaga dan melestarikan kesenian dan kebudayaan yang ada di Gorontalo, tidak hanya Gorontalo namun juga kesenian dan kebudayaaan yang ada di provinsi dan daerah lain yang ada di Indonesia. Dengan mengetahui kesenian dan kebudayaan yang ada di Indonesia menjadikan kita bangga akan kekayaan ragam budaya yang dimiliki oleh Indonesia, dan tidak menjadikan perbedaan ini menjadi suatu masalah, melainkan perbedaan antar kebudayaan menjadikan kita lebih menghormati perbedaan yang ada.
- Pernikahan
Di desa Satria acara pernikahan dilaksanakan dengan tradisi tradisi daerah Gorontalo dan adat jawa sesuai dengan masyarakat yang akan melaksnakan hajatan pernikahan, Berikut akan diuraiakan tahapan pernikahan adat gorontalo sesuai dengan Lenggota Lo Nikah atau tata urutan adat pernikahan daerah Gorontalo.
Mopoloduwo Rahasia
Mopoloduwo rahasia yaitu dimana orang tua dari pria mendatangi kediaman orang tua sang wanita untuk memperoleh restu pernikahan anak mereka. Apabila keduanya menyetujui, maka ditentukan waktu untuk melangsungkan peminangan atau Tolobalango.
Tolobalango
Tolobalango adalah peminangan secara resmi yang dihadiri oleh pemangku adat Pembesar Negeri dan keluarga melalui juru bicara pihak keluarga pria atau Lundthu Dulango Layio dan juru bicara utusan keluarga wanita atau Lundthu Dulango Walato, Penyampaian maksud peminangan dilantunkan melalui pantun-pantun yang indah. Dalam Peminangan Adat Gorontalo tidak menyebutkan biaya pernikahan (Tonelo) oleh pihak utusan keluarga calon pengantin pria, namun yang terpenting mengungkapkan Mahar atau Maharu dan penyampaian acara yang akan dilaksanakan selanjutnya
Depito Dutu
Pada waktu yang telah disepakati dalam acara Tolobalango maka prosesi selanjutnya adalah mengantar harta atau antar mahar, didaerah gorontalo disebut Depito Dutu yang terdiri dari 1 paket mahar, sebuah paket lengkap kosmetik tradisional Gorontalo dan kosmetik modern, ditambah seperangkat busana pengantin wanita, serta bermacam buah-buahan dan bumbu dapur atau dilonggato.
Semua mahar ini dimuat dalam sebuah kendaraan yang didekorasi menyerupai perahu yang disebut Kola–Kola. Arak-arakan hantaran ini dibawa dari rumah Yiladiya (kediaman/ rumah raja) calon pengantin pria menuju rumah Yiladiya pengantin wanita diringi dengan gendering adat dan kelompok Tinilo diiringi tabuhan rebana melantunkan lagu tradisional Gorontalo yang sudah turun temurun, yang berisi sanjungan, himbauan dan doa keselamatan dalam hidup berumah tangga dunia dan akhirat.
Mopotilandahu
Pada malam sehari sebelum Akad Nikah digelar serangkaian acara malam pertunangan atau mopotilandahu. Acara ini diawali dengan Khatam Qur’an, proses in bermakna bahwa calon mempelai wanita telah menamatkan atau menyelesaikan mengajinya dengan membaca ‘Wadhuha’ sampai Surat An - Naas. Dilanjutkan dengan Molapi Saronde yaitu tarian yang dibawakan oleh calon mempelai pria dan ayah atau wali laki-laki. Tarian ini menggunakan sehelai selendang. Ayah dan calon mempelai pria secara bergantian menarikannya, sedangkan sang calon mempelai wanita memperhatikan dari kejauhan atau dari kamar.
Bagi calon mempelai pria ini merupakan sarana menengok atau mengintip calon istrinya, istilah daerah Gorontalo di sebut Molile Huali. Dengan tarian ini calon mempelai pria mecuri-curi pandang untuk melihat calonnya. Saronde dimulai dengan ditandai pemukulan rebana diiringi dengan lagu Tulunani yang disusun syair-syairnya dalam bahasa Arab yang juga merupakan lantunan doa-doa untuk keselamatan.
Lalu sang calon mempelai wanita ditemani pendanping menampilkan tarian tradisional Tidi Daa atau Tidi Loilodiya. Tarian ini menggambarkan keberanian dan keyakinan menghadapi badai yang akan terjadi kelak bila berumah tangga. Usai menarikan Tarian Tidi, calon mempelai wanita duduk kembali ke pelaminan dan calon mempelai pria dan rombongan pemangku adat beserta keluarga kembali ke rumahnya.
Akad Nikah
Keesokan harinya Pemangku Adat melaksanakan Akad Nikah, sebagai acara puncak dimana kedua mempelai akan disatukan dalam ikatan pernikahan yang sah menurut Syariat Islam. Dengan cara setengah berjongkok mempelai pria dan penghulu mengikrarkan Ijab Kabul dan mas kawin yang telah disepakati kedua belah pihak keluarga. Acara ini selanjutnya ditutup dengan doa sebagai tanda syukur atas kelancaran acara penikahan ini.
5. Hipotesa Desa Satria
1. Sosial ekonomi.
Sebagian besar mata pencaharian penduduk Desa Satria adalah bertani, baik jenis padi maupun palawija, masyarakatnya hidup teratur dan hidup menetap.
Desa Satria yang letaknya di jalan trans Boliyohuto yang besar dan memiliki peluang untuk memajukan kesejahteraan ekonomi masyarakat, maka disamping pertanian masyarakatnya tentu telah mengenal kehidupan bisnis/perdagangan.
Sejalan dengan perkembangan jaman masyarakat Desa Satria juga sudah banyak yang berkerja pada instansi pemerintahan maupun swasta.
2. Kultur (Kebudayaan di Desa Satria)
Kultur Kebudayaan Gorontalo
a. Budaya Satria
Bagi masyarakat Gorontalo khususnya di Desa Satria Kecamatan Mootilango Kabupaten Gorontalo tradisi gotong royong dikenal dengan istilah Satria yang menjadi ciri khas kepribadian masyarakat Gorontalo yang telah dibina secara turun temurun. Dalam Buku Perjuangan Rakyat di Daerah Gorontalo, Menentang Kolonialisme dan Mempertahankan Negara Proklamasi (1982:9) Satria bagi masyarakat Gorontalo merupakan suatu sistem tolong menolong antara anggota-anggota masyarakat, untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan bersama yang didasarkan pada solidaritas sosial melalui ikatan keluarga tetangga dan kerabat.
Salah seorang tokoh adat Desa Satria mengungkapkan bahwa Satria adalah ‘pernyataan kebersamaan dalam membangun, atau kebiasaan memusyawarahkan setiap kebijakan yang akan diambil yang berhubungan dengan kepentingan dan hajat hidup orang banyak’.
Berdasarkan pendapat tersebut Satria merupakan bentuk musyawarah dalam hal merumuskan kebijakan yang akan menjadi dasar dalam pelaksanaan pembangunan demi kepantingan bersama. Satria adalah “melakukan suatu pekerjaan bersama oleh sekelompok orang atau anggota masyarakat dalam arti saling membantu dan timbal balik”.
Satria bagi masyarakat Gorontalo penerapannya dapat dilihat dalam beberapa jenis, yaitu: 1) Ambu merupakan kegiatan tolong menolong 69Jurnal Penelitian Pendidikan, Vol. 14 No. 1, April 2013untuk kepentingan bersama atau lebih dikenal dengan istilah kerja bakti, misalnya pembuatan jalan desa, tanggul desa, jembatan dan sebagainya. Selain itu, ambumerupakan salah satu cara yang digunakan oleh masyarakat untuk menyelesaikan permasalahan di masyarakat seperti perkelahian antara warga; 2)
- Hileiya adalah merupakan kegiatan tolong menolong secara spontan yang dianggap kewajiban sebagai anggota masyarakat, misalnya pertolongan yang diberikan pada keluarga yang mengalami kedukaan dan musibah lainnya; 3)
- Ti’ayo adalah kegiatan tolong menolong antara sekelompok orang untuk mengerjakan pekerjaan seseorang, contohnya kegiatan pertanian, kegiatan membangun rumah, kegiatan membangun bantayo(tenda) untuk pesta perkawinan.
Adapun jenis dan nilai-nilai yang terkandung dalam budaya Satria nampak dalam tabel berikut ini:
Jenis dan nilai yang terkandung dalam Satria
No
Kegiatan Satria Maksud Nilai – nilai
1 Ambu Merupakan kegiatan tolong menolong untuk kepentingan bersama, misalnya pembuatan jalan desa, tanggul desa, dan jembatan. Selain itu, Ambu juga digunakan untuk menyelesaikan permasalahan di masyarakat seperti tauran antara kelompok pemuda. Kerja sama, kebersamaan, tanggungjawab, musyawarah, persatuan, dan peduli.
2 Hileiya Merupakan kegiatan tolong menolong secara spontan yang dianggap kewajiban sebagai anggota masyarakat, misalnya pertolongan yang diberikan pada keluarga yang mengalami kedukaan dan musibah lainnya. Kebersamaan, tanggungjawab, empati, dan peduli.
3 Ti’ayo Merupakan kegiatan tolong menolong antara sekelompok orang untuk mengerjakan pekerjaan seseorang, contohnya kegiatan pertanian, kegiatan membangun rumah, dan kegiatan membangun bantayo(tenda) untuk pesta perkawinan. Kerja sama, kebersamaan, musyawarah, empati, persatuan, dan peduli.
Tumbilotohe
- Tradisi Tumbilotohe
Tradisi tumbilotohe adalah tradisi yang sudah membudaya di daerah Gorontalo khususnya di Desa Satria, setiap tahun di akhir bulan Ramadhan stiap malamnya selalu dirayakan. Tradisi menyalakan lampu minyak tanah pada penghujung Ramadhan di Gorontalo, sangat diyakini kental dengan nilai agama. Dalam setiap perayaan tradisi ini, masyarakat secara sukarela menyalakan lampu dan menyediakan minyak tanah sendiri tanpa subsidi dari pemerintah. Hal ini merupakan sesuatu yang patut dibanggakan dari masyarakat Gorontalo.
Namun, seringkali juga perayaan tradisi ini mengalami saat-saat dimana perayaannya tidak begitu ramai akan lampu-lampu yang menghiasi dibandingkan dengan perayaan tumbilotohe ditahun-tahun sebelumnya yang dilaksanakan di daerah Gorontalo. Hal ini sangatlah disayangkan dan perlu untuk mendapat perhatian lebih dari pemerintah daerah Gorontalo.
Hal-hal yang menyebabkan terjadinyaperayaan tumbilotohe tidak begitu ramai mungkin disebabkan oleh kenaikan harga minyak tanah yang menjadi salah satu bahan dari lampu botol yang menjadi ciri khas dari tradisi tumbilotohe itu sendiri. Dengan keterbatasan masyarakat akan minyak tanah tersebut, membuat pemasangan lampu-lampu botol yang ada di tiap daerah menjadi berkurang. Tetapi, ada segelintir masyarakat yang tetap merayakan dan memasang lampu botol tersebut. Hal ini merupakan antusias masyarakat Gorontalo untuk tetap melestarikan tradisi yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Antusiasme masyarakat inilah yang menjadikan tradisi ini tetap terjaga dan selalu ada di daerah Gorontalo.
Dengan demikian tradisi tumbilotohe yang telah membudaya di masyarakat Gorontalo yang berada di Desa Satria Kecamatan Mootilango telah menjadi kekayaan budaya yang juga memiliki daya tarik sebagai wisata di Gorontalo.
- Suasana Tradisi Tumbilotohe
Tumbilotohe merupakan acara tahunan di daerah Gorontalo khususnya di Desa Satriayang paling meriah, tradisi ini selalu menjadi acara yang selalu di tunggu oleh masyarkat di Desa Satria. Tradisi ini bisa dibilang merupakan festival yang paling ramai di Gorontalo. Jika malam tumbilotohe telah dimulai, banyak masyarakat yang keluar dan menikmati pemandangan lampu botol di desa maupun daerah kota Gorontalo. Malam tumbilotohe benar-benar ramai, apalagi jika ada perlombaan antar dusun tersebut berbondong-bondong memasang lampu botol dengan semeriah mungkin.
Tanah lapang yang luas dan daerah persawahan di buat berbagai formasi dari lentera membentuk gambar masjid, kitab suci Alquran, dan kaligrafi yang sangat indah dan mempesona. Kreasi-kreasi masyarakat setempat diukir dengan bambu dan digantungkan lampu botol, sehingga pada saat lampu botol dinyalakan, akan terlihat lampu botol tersebut terukir kaligrafi ataupun tulisan ucapan, biasanya tulisan ucapan yang terlihat adalah ucapan selamat hari raya Idul Fitri. Tumbilotohe tidak hanya terbatas pada tanah, tetapi ada juga yang memasang lampu botolnya di daerah sungai, sehingga sepanjang sungai akan terlihat indah dan terang.
Saat tradisi tumbilotohe di gelar, DesaSatria jadi terang benderang, nyaris tak ada sudut dusun yang gelap. Gemerlap lentera tradisi tumbilo tohe yang digantung pada kerangka-kerangka kayu yang dihiasi dengan janur kuning atau dikenal dengan nama alikusu (hiasan yang terbuat dari daun kelapa muda) menghiasi kota Gorontalo. Di atas kerangka di gantung sejumlah pisang sebagai lambang kesejahteraan dan tebu sebagai lambang keramahan dan kemuliaan hati menyambut Hari Raya Idul Fitri.
- Keunikan Tradisi Tumbilotohe
Pada saat perayaan tradisi tumbilotohe, ada banyak hal lainnya yang meramaikan perayaan tradisi ini. Hal-hal ini yang menambahkan keunikan dari tumbilotohe ini.
Yang pertama yaitu, saat dimana anak-anak sampai segelintir orang tua membunyikan bunggo atau biasa dikenal dengan sebutan meriam tradisional. Meriam tradisional ini dahulunya hingga sekarang sering digunakan untuk membangunkan sahur di saat bulan Ramadhan, tetapi pada saat tradisi tumbilotohe berlangsung, meriam tradisional ini menjadi ajang perlombaan bagi yang memiliki suara meriam terkeras. Bunggo ini merupakan meriam bambu yang diisi minyak tanah, dan memilik lubang kecil di atas bambu tersebut untuk menyulut lalu menghasilkan bunyi seperti meriam.
Yang kedua adalah festival bedug, dimana setiap mesjid atau tempat-tempat tertentu menyiapkan bedug dan memukul bedug tersebut sedemikian rupa hingga mengahsilkan bunyi yang indah didengar.
Yang ketiga adalah penataan lampu-lampu botol di lahan yang luas, lampu-lampu botol dihias dan ditata seindah mungkin dan membuat tulisan dari bambu dan digantungkan lampu botol sehingga lahan tersebut terlihat indah. Jika ada foto udara, daerah Gorontalo akan terlhat terang bercahaya dari atas.
- Respon Warga Indonesia Terhadap Tradisi Tumbilotohe
Tumbilotohe merupakan salah satu kekayaan budaya di Gorontalo khususnya di Desa Satria yang pantas dikembangkan. Oleh karena itu, tradisi tumbilotohe terus dilestarikan oleh warga masyarakat setempat hingga saat ini. Banyak potensi yang dimiliki tumbilotohe, salah satunya bisa menyedot kunjungan wisata ke daerah Gorontalo, karena tradisi tumbilotohe tidak dijumpai di daerah manapun di wilayah NKRI. Walaupun daerah-daerah tetangga Provinsi Gorontalo pun turut melaksanakannya seperti daerah bagian utara (Bolmut) yang dikenal dengan nama Maninjulo Lambu dan selatan (Bolsel) yang dikenal dengan nama Sumpilo Soga, tapi semaraknya tidak merata seperti yang ada di Desa Satria Kecamatan Mootilango Kabupaten Gorontalo provinsi Gorontalo.
5. Tradisi Masyarakat Desa Satria terhadap Ibu hamil
- Molonthalo
Sebagian besar masyarakat di Indonesia mempercayai bahwa kehidupan manusia selalu diiringi dengan masa-masa kritis, yaitu suatu masa yang penuh dengan ancaman dan bahaya (Koentjaraningrat, 1985; Keesing, 1992). Masa-masa itu adalah peralihan dari tingkat kehidupan yang satu ke tingkat kehidupan lainnya (dari manusia masih berupa janin sampai meninggal dunia). Oleh karena masa-masa tersebut dianggap sebagai masa yang penuh dengan ancaman dan bahaya, maka diperlukan adanya suatu usaha untuk “menetralkannya”, sehingga dapat dilalui dengan selamat. Usaha tersebut diwujudkan dalam bentuk upacara yang kemudian dikenal sebagai upacara lingkaran hidup individu yang meliputi: kehamilan, kelahiran, khitanan, perkawinan, dan kematian. Tulisan ini terfokus pada upacara masa kehamilan yang disebut sebagai molonthalo atau raba puru pada masyarakat Gorontalo di Desa Satria.
Waktu, Tempat, Pemimpin dan Pihak-pihak yang Telibat dalam Upacara
Penyelenggaraan upacara molonthalo atau tondhalo (bahasa Gorontalo) atau raba puru (bahasa Manado) diadakan ketika usia kandungan seseorang telah mencapai tujuh bulan. Tujuan dari diadakannya upacara ini adalah sebagai pernyataan dari pihak keluarga suami bahwa kehamilan pertama adalah harapan yang terpenuhi akan kelanjutan keturunan dari perkawinan yang sah. Selain itu juga sebagai pernyataan atau maklumat kepada pihak keluarga suami bahwa sang isteri benar-benar suci ketika belum menikah. Sebagai catatan, upacara masa kehamilan yang disebut sebagai molonthalo ini diadakan hanya pada saat seorang perempuan mengalami masa kehamilan untuk yang pertama kalinya.
Pemimpin dalam upacara molonthalo adalah seorang dukun bayi atau bidan kampung yang biasa disebut Hulango yang beragama Islam, mengetahui seluk beluk umur kandungan, mengetahui urut-urutan upacara molonthalo, hafal bacaan-bacaan dalam upacara, dan telah diakui oleh masyarakat setempat.
Adapun pihak-pihak lain yang terlibat dalam penyelenggaraan upacara adalah:
(1) para kerabat dari pihak suami;
(2) imam kampung atau Hatibi;
(3) dua orang anak (laki dan perempuan) berusia 7-9 tahun yang masih memiliki orang tua (Satria lo hulonthalo);
(4) tiga orang ibu yang dianggap dari keluarga sakinah; dan
(5) warga masyarakat lainnya yang membantu menyiapkan perlengkapan upacara maupun menyaksikan jalannya upacara.
Peralatan Upacara
Peralatan dan perlengkapan yang perlu dipersiapkan dalam upacara molonthalo adalah:
(1) hulante yang berbentuk seperangkat bahan diatas baki, terdiri dari beras secupak (3 liter), 7 buah pala, 7 buah cengkeh, 7 buah limututu (lemon sowanggi), 7 buah mata uang yang bernilai Rp.100,00;
(2) Peralatan pembakaran dupa, terdiri dari: tetabu (dupa), 1 buah polutube (pedupaan), baskom tempat tetabu, dan segelas air masak;
(3) Botu pongi’ila atau batu gosok. Botu pongi’ila nantinya akan digunakan untuk mengikis kunyit. yang dicampur sedikit kapur dan air dingin;
(4) Toyopo (wadah dari daun kelapa muda) yang di dalamnya berisi nasi kuning, telur rebus, ayam goreng, lutu tahulumito (pisang raja) atau lutu lo hulonti’o (pisang gapi) dan kuih-muih (wapili, kolombengi, apangi);
(5) Pomama (tempat sirih pinang), tambaluda atau hukede;
(6) Sebuah baki yang di dalamnya terdiri dari sepiring bilinti (sejenis nasi goreng yang dicampur dengan hati ayam), dua buah baskom tempat cuci tangan, dua buah sendok makan, dan ayam goreng yang di dalam perutnya dimasukkan sebutir telur rebus;
(7) Tiladu tula-tula pidu (daun silar berkeping tiga) yang lebarnya seukuran perut sang ibu yang hamil;
(8) Bulewe atau upik pinang (malo ngo’alo);
(9) Buawu huli (tempurung kelapa yang tidak bermata);
(10) Pale yilulo yaitu beras yang diberi warna merah, kuning, hijau, hitam, dan putih;
(11) Sebuah tikar putih (amongo peya-peya atau ti’oho) yang terbungkus (bolu-bolu). Tikar ini nantinya akan difungsikan sebagai tirai untuk menutupi pintu (pode-podehu). Di balik tirai akan duduk seorang ibu yang meneruskan pertanyaan dari syara’ (hatibi atau syarada’a atau imam yang bertugas membacakan doa) pada Hulango (bidan kampung atau dukun bayi);
(12) Sebilah keris beserta warangkanya.
Jalannya Upacara
Ketika masa kehamilannya telah mencapai tujuh bulan, maka keluarganya akan menghubungi Hulango untuk memberitahukan dan sekaligus memintanya menjadi pemimpin upacara molonthalo. Selain itu, pihak keluarga juga menyampaikan undangan kepada para kerabat dan tetangga terdekat untuk ikut menghadiri upacara.
Pada hari yang telah ditentukan dan semua peserta upacara telah berkumpul di rumah perempuan yang diupacarakan, maka upacara pun dilaksanakan. Upacara diawali dengan pemberian tanda dengan alawahu tilihi oleh hulango pada dahi, leher, bahu, lekukan tangan, bagian atas telapak kaki, dan bawah lutut perempuan yang diupacarakan. Tujuannya adalah sebagai ungkapan bahwa sang calon ibu tersebut akan meninggalkan sifat-sifat mazmunah-nya (tercela) ketika membesarkan dan mendidik anaknya nanti.
Selanjutnya, ia dibaringkan di atas sebuah tikar putih dengan kepala menghadap ke arah timur dan kaki ke barat. Pada bagian kepala diletakkan sebuah bantal yang selalu dipegangi oleh seorang ibu. Sedangkan bagian kaki juga dijaga oleh seorang ibu lainnya sambil memegang lututnya agar posisinya terlipat ke atas.
Selain dua orang ibu yang menjaga bagian kepala dan kaki, terdapat juga dua orang anak (laki dan perempuan) berusia 7-9 tahun yang masih memiliki orang tua (Satria lo hulontalo). Mereka duduk di sebelah kiri dan kanan sambil meletakkan tangan tepat di atas ikat pinggang janur berkepala tiga yang dikenakan si perempuan hamil. Sebagai catatan, selain ikat pinggang janur berkepala tiga, si perempuan hamil juga memakai busana khusus, yaitu waliomomo dengan konde memakai sunti yang terdiri dari 1 hingga 7 buah tangkai, bergantung dari status sosialnya dalam masyarakat. 1 tangkai untuk golongan orang kebanyakan, 3 tangkai untuk golongan isteri wuleya lo lipu (camat), 5 tangkai untuk isteri jogugu/wakil bupati/wakil walikota, dan 7 tangkai untuk Mbui, isteri raja/bupati/walikota.
Usai dibaringkan, syara’ atau imam kampung atau hatibi menanyakan pada ibu yang memegang talante bula (tikar terbungkus kain yang digunakan sebagai tirai penutup pintu kamar), dengan perkataan “Ma mongola hula?” yang artinya “Sudah berapa bulan?”. Pertanyaan ini segera diteruskan pada hulango yang segera menjawabnya dengan kalimat “Oyinta oluwo”. Jawaban hulango diteruskan lagi oleh ibu penjaga tirai pada syara’ dengan suara yang agak keras. Hal ini berlangsung sebanyak tiga kali.
Setelah acara tanya-jawab selesai, sang suami segera masuk ke dalam kamar isterinya lalu melangkahi perutnya sebanyak tiga kali. Selesai melangkahi perut isterinya, sang suami lalu menghunus keris untuk memotong anyaman silar yang telah disediakan. Potongan anyaman silar tersebut lalu dibawanya keluar mengelilingi rumah sebanyak satu kali, kemudian dibuang agak jauh dari rumah. Tujuan dari kegiatan ini adalah agar sang bayi lahir dengan selamat dan setelah dewasa akan memegang teguh adat, syara’, dan baala sebagai pedoman hidupnya dalam bermasyarakat.
Setelah itu sang suami kembali masuk ke rumah dan duduk berhadapan dengan isterinya untuk acara saling menyuapi dengan seperangkat makanan dalam baki yang terdiri dari nasi bilinthi dan ayam goreng. Sebelum acara saling menyuapi berlangsung yang juga sebagai lambang kasih sayang serta adanya hak dan kewajiban dari siami-isteri, terlebih dahulu sang suami akan mengeluarkan telur yang telah dimasukkan dalam perut ayam goreng. Telur yang keluar dari tubuh ayam goreng tersebut bermakna agar sang isteri diberi kemudahan ketika melahirkan bayinya.
Selesai prosesi saling menyuapi, acara dilanjutkan dengan pembacaan doa dan shalawat yang dipimpin oleh hatibi. Kemudian, sang suami dan isterinya akan dimandikan oleh hulango dengan air yang telah dicampur dengan berbagai macam bunga dan ramuan.
Acara lalu diakhiri dengan makan bersama diantara peserta upacara dengan hidangan berupa kue tradisional khas Gorontalo. Dan sebelum para peserta upacara pulang, sang suami memberikan pala’u (sedekah sesuai keikhlasan hati) kepada hulango, hatibi, tiga orang ibu (penjaga kepala, kaki dan tirai), serta dua orang anak yang ikut menjaga perempuan yang sedang diupacarakan. Dengan berakhirnya tahap pemberian pala’u ini, berakhirlah seluruh rentetan upacara molonthalo.
Nilai Budaya
Ada beberapa nilai yang terkandung dalam upacara molonthalo. Nilai-nilai itu antara lain adalah: kebersamaan, ketelitian, gotong royong, keselamatan, dan religius. Nilai kebersamaan tercermin dari berkumpulnya sebagian sanak kerabat untuk berdoa bersama demi keselamatan bersama pula. Ini adalah wujud kebersamaan dalam hidup bersama di dalam lingkungannya (dalam arti luas). Oleh karena itu, upacara ini mengandung pula nilai kebersamaan.
Nilai ketelitian tercermin dari proses upacara itu sendiri. Sebagai suatu proses, upacara memerlukan persiapan, baik sebelum upacara, pada saat prosesi, maupun sesudahnya. Persiapan-persiapan itu, tidak hanya menyangkut peralatan upacara, tetapi juga tempat, waktu, pemimpin, dan peserta. Semuanya itu harus dipersiapkan dengan baik dan seksama, sehingga upacara dapat berjalan dengan lancar. Untuk itu, dibutuhkan ketelitian.
Nilai kegotong-royongan tercermin dari keterlibatan berbagai pihak dalam penyelenggaraan upacara. Mereka saling bantu demi terlaksananya upacara. Dalam hal ini ada yang membantu menyiapkan makanan dan minuman, menjadi pemimpin upacara, membantu pemimpin upacara, dan lain sebagainya.
Nilai keselamatan tercermin dalam adanya kepercayaan bahwa peralihan kehidupan seorang individu dari satu masa ke masa yang lain penuh dengan ancaman (bahaya) dan tantangan. Untuk mengatasi krisis dalam daur kehidupan seorang manusia itu, maka perlu diadakan suatu upacara. Molonthalo merupakan salah satu upacara yang bertujuan untuk mencari keselamatan pada tahap peralihan dari masa di dalam kandungan menuju ke kehidupan di dunia.
Nilai religius tercermin dalam doa bersama yang dipimpin oleh hatibi atau ulama setempat, pada acara kenduri yang merupakan salah satu bagian dari serentetan tahapan dalam upacara molonthalo. Tujuannya adalah agar sang bayi beserta ibunya mendapatkan perlindungan dari Tuhan. (ali gufron), adalah satu upacara tradisional supaya orang terbebas dari segala macam kesialan hidup, nasib jelek dan supaya selanjutnya bisa hidup selamat sejahtera dan bahagia.
6. Budaya Me’raji
Umat Muslim meyakini bahwa bulan Ramadhan adalah momentum yang tepat untuk mensucikan dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tak heran bila berbagai kegiatan ritual, kerap dijalankan pada bulan tersebut. Bahkan, ada sebagian masyarakat Muslim yang menggelar kegiatan ritual sebelum bulan puasa, seperti yang dilakukan masyarakat Satria.
Masyarakat di sana menggelar mopomeraji untuk memperingati Isra Mi'raj Nabi Muhammad SAW sekaligus menyambut datangnya bulan Ramadhan. Dengan melantunkan tembang yang berisi kisah perjalanan Nabi Muhammad dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa hingga berakhir di Sidratul Muntaha, mopomeraji digelar menggunakan bahasa daerah setempat. Terkadang diiringi dengan irama peralatan musik seadanya, sehingga tak jarang membuat para pendengar ikut terhanyut.
Biasanya, acara yang berlangsung hingga salat Subuh itu selalu disertai pembakaran kemenyan dan segelas air putih yang sudah "diisi" doa salawat. Selain itu, acara tersebut juga dilengkapi dengan rempah-rempah sebagai bumbu masak untuk diberkati. Sebagian rempah-rempah tersebut digunakan sebagai obat.
7. Budaya Dikili
Setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal bertepatan dengan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW , kaum muslimin di seleluruh dunia memperingati keagungan pribadi Rasulullah SAW, sejarahnya,dan sunnahnya dengan penuh suka cita Peringatan itu dapat memberikan pengaruh positif, sebagaimana firman ALLAH SWT dalam surah Adz- Dzariyat ayat 55, ‘Dan berilah peringatan, karena peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang mukmin’.
Di Desa Satria memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW di gelar di berbagai Masjid yang ada di setiap Dusun dengan cara yang berbeda-beda dengan maksud dan tujuan yang sama yakni memporkokoh tiang Agama dan ingin mendapatkan ridho Allah SWT. Khusus Desa Satria peringatan tersebut di laksanakan oleh masyarakat secara nasional maupun tradisi lokal, untuk secara nasional umumnya di langsungkan syair, qasidah,marawis dan ceramah keagamaan guna untuk mengenang kebesaran Rasullulah SAW, adapun cara tradisi lokalnya di tandai dengan melantunkan dzikir atau ‘ DIIKILI’ (bahasa Gorontalonya) pada malam hari sampai pagi di masjid-masjid , setelah itu perayaan pembagian berbagai macam makanan yang sudah di hias dalam wadah yang bentuknya bermacam- macam atau disebut ‘ WAALIMA ’ bahasa Gorontalonya dengan cara itu terjalinlah silaturrahmi antara masyarakat, terutama dari golongan menengah kebawah sangat antusias menikmati perayaan tersebut.
Dalam tulisannya Azhari , Pemerhati Budaya Gorontalo dari Universitas Negeri Gorontalo Doktor Eliyana Hinta mengatakan, tradisi ini sudah turun temurun dilaksanakan pada setiap tahun.Menurutnya peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW bukan sekadar perayaan atau kegiatan seremonial semata melainkan mengandung makna atas ajaran nilai-nilai luhur sebagaimana yang dicontohkan oleh rasulullah. Sementara itu Doktor Susleman Bouty yang juga pemerhati Budaya Gorontalo dari UNG mengatakan, esensi dari peringatan Maulid ini untuk membangkitkan kecintaan umat islam kepada Nabi Muhammad SAW. Ia berpendapat sejauh ini tradisi memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW di Desa Satria masih tetap dijaga dan dipertahankan oleh masyarakat Satria bahkan ada yang menjadikan budaya ini menjadi salah satu obyek wisata reliji.
Sangat di sayangkan apa bila perayaan memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW ini di salah gunakan oleh kita semua, sehingga menimbulkan pertentangan di antara umat. Untuk itu alangkah baiknya kita mengambil sisi positifnya saja agar terbentuklah kerukunan antar umat beragama khususnya umat Islam yang seutuhnya.
8. Upacara Adat Pemakaman
A. Persyaratan Upacara
Masyarakat suku Gorontalo khususnya di Desa Satria Kecamatan Mootilango sejak dahulu memiliki pelaksanaan pemakaman yang terpadu antara adat istiadat dan ajaran islam. Dalam islam ajaran yang telah lama di anut meyakini bahwa kewajiban terhadap jenazah ada 4 hal yang pokok yaitu :
1. Memandikan jenazah
2. Mengafankan jenazah.
3. Menshalatkan jenazah.
4. Menguburkan / memakamkan jenazah.
Menyelenggarakan keempat hal yang pokok diatas bagi masyarakat suku Gorontalo sebagai muslim, hukumnya adalah fardhu kifayah.
Sesuai kenyataan keempat hal diatas, dikembangkan dalam tata cara adat dan kebiasaan – kebiasaan yang berlaku, yang dapat dinilai sebagai etika peradaban, sebagaimana dilakukan oleh suku- suku bangsa lainnya.
Pengembangan tersebut telah diberlakukan sejak abad ke-17 di Gorontalo, yakni sejak pemerintahan Raja Eyato, yang tercetus dalam prinsip peradatan Yaitu :
Aadati hula –hula’a to sara’a = adat bersendikan syarah
Sara hula-hula’a to kur’ani = syara bersendi Qur’an ( Kitabullah ).
Dalam penyelenggaraan pemakaman menurut Adat Gorontalo, ada tiga versi pelaksanaan pemakaman, sesuai status orang yang meninggal yaitu :
1. Pemakaman untuk Raja. Upacaranya “ Pohu – Pohutu “ yang artinya upacara adat lengkap.
2. Pemakaman untuk ‘ Bubato ‘ yaitu pejabat di bawah Raja, yaitu pelaksanaannya adalah pemerintah setempat, upacaranya tidak selengkap pemakaman Raja.
3. Pemakaman untuk rakyat ( tuwango lipu )’ upacara yang sederhana.
B. P e l a k s a n a
1. Pemakaman untuk rakyat ( Tuwango Lipu ).
Pemakaman secara adat untuk rakyat, dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut :
a. ada keinginan untuk melaksanakan adat.
b. ada kemampuan dibidang material ( keuangan ).
Ketentuan ini didasarkan atas pandangan Islam bahwa setiap jenazah patut dimuliakan dalam satu upacara kebesaran adat.
Yang tergolong mongoeya, bukan saja para pejabat yang masih memegang tampuk pemerintahan atau diistilahkan “ TAATO BOONELA” tetapi juga mereka yang telah pensiun atau diistilahkan ” TAA LO TINGGULI”. Mereka ini telah banyak berbuat jasa terhadap ‘ U LIPU ‘ atau negeri. Upacara adat pemakaman Gorontalo mempunyai fungsi dan nilai tinggi, sebagai suatu penghormatan dan tanda kebesaran terhadap yang meninggal. Penghormatan dan tanda kebesaran sering diwujudkan pada gelar yang disebut ”GARA’I “ Gelar itu menggambarkan jasa dan kebiasaannya pada waktu ia masih dalam jabatan pemerintahan.
C. PERLENGKAPAN ADAT PEMAKAMAN
1. Pelaksanaan terdiri dari “ BUWATULO TOTOLU ” atau tiga jalur pemerintahan , yaitu adat, syarak dan pemerintah termasuk “ Bala “ atau pihak keamanan.
2. Hantalo ( genderang ) atau tambur, sebagai pemberi tanda.
3. Tangga adat yang disebut “ TOLITIHU“, sebagai pertanda bahwa acara Pemakaman dilaksanakan secara adat.
4. Usungan ( HUHULIHE ) dengan perlengkapannya :
Kulambu ( kelambu ) putih.
Pasimeni ( hiasan berupa kain bertuliskan “ Laialaha illallah, Muhammadarasulullah “
Tombutungo, ( semacam kuntum bunga ) pada 4 sudut tiang usungan.
Toyungo bilalanga ( Satriang kebesaran yang berpinggirkan putih ).
Toples – toples yang berisi ari kembang .dll
Baki – baki irisan daun dan kembang.
5. Usungan yang mendahului usungan mayat yang disebut usungan Goa atau ‘HUHULIHE LO HUWA’ yang berfungsi sebagai pembuka jalan.
6. Tuja’i atau sanjak yang diucapkan dalam penyelenggaraan pemakaman.
D. M a k n a
Pada umumnya seluruh perlengkapan adat .
Pemakaman adalah simbol kemanusiaan, yang mengandung makna kehidupan manusia di dunia dan akherat. Simbol tersebut mengandung 2 makna yaitu :
1. Makna Pelengkapan Adat
a. Jenazah yang di makamkan adalah pejabat pemerintah sesuai ketentuan adat.
b. Jenazah tersebut adalah orang yang terhormat dan berjasa banyak bagi rakyat dan negeri ( pensiunan ).
c. Merupakan permohonan kepada yang Maha Kuasa agar roh yang bersangkutan diterima disisi Nya, karena amalan – amalannya yang baik.
d. Sebagai perwujudan dari pada rasa kesatuan dan persatuan rakyat maupun masyarakat pendukung adat itu.
e. Sebagai contoh dan peringatan bagi yang masih hidup, bahwa bagaimanapun hidup diatas dunia ini yang ditinggalkan hanyalah satu yaitu jasa – jasa yang baik terhadap Negeri dan rakyatya.
2. Makna pemakaman secara adat ditinjau dari beberapa pihak.
a. Bagi keluarga yang berduka merupakan “ DULIYALO “atau Ta’ziah”.
b. Bagi yang meninggal sebagai “ U TILOMUNGO “ atau kiriman berupa Doa dari masyarakat kepada jenazah agar roh nya memperoleh keselamatan.
c. Bagi masyarakat merupakan sikap “ U SATRIA “ atau persatuan karena upacara adat itu tidak dilaksanakan oleh perorangan tetapi oleh kelompok masyarakat.
d. Bagi Negeri merupakan “ TOHETO LO ULIPU” yaitu merupakan pembinaan keutuhan dan ketahanan Negeri.
e. Bagi agama adalah “ LAMAHIYO LO AGAMA “ atau kemuliaan terhadap agama.
E. H a k e k a t
1. Persyaratan dan upacara-upacara dalam penyelenggaraan pemakaman merupakan ajaran Islam, yang diselaraskan dengan adat istiadat yang berlaku turun temurun.
2. Dalam upacara peradatannya, genderang (Hantalo) sebagai pemandu setiap perpindahan acara yang dipimpin oleh Baate. Penanaman disiplin sangat berarti pada setiap upacara peradatan karena pelanggaran berarti kesalahan yang mempunyai resiko.
3. Pemahaman akan adat pemakaman secara menyeluruh, merupakan pertimbangan bagi penyesuaian kehidupan dan falsafah bangsa, serta kegiatan pembangunan.
PERSIAPAN PELAKSANAAN
A. Persiapan Acara
Apabila rakyat biasa meninggal, maka cukuplah pemangku- pemangku adat dan pegawai Syarak dikampung sebagai pelaksanaannya.
Bila semua persiapan telah rampung, maka pihak keluarga mengadakan “Aadati Potidungu” atau penyerahan pelaksanaannya kepada Baate selaku pimpinan acara dengan adat yang bernilai 4 (empat) real.
B. Proses Pelaksanaannya
1. Setelah tanggung jawab pelaksanaannya sudah berada ditangan pemangku – pemangku adat dan pegawai Syarak, maka kegiatan dimulai dengan acara pembuatan “ Tu’ Adu Aadati “ ( tangga adat ) yang disebut “ TOLITIHU “
2. Selanjutnya pengaturan tempat duduk dengan istilah “Adat Momulito Huhulo’a “, untuk pejabat, pemangku adat, pegawai Syarak dan masyarakat umum diiringi dengan “ Mopodidi “ yaitu kain putih satu meter, yang menjadi ikat kepala dari pejabat yang hadir. Sebelumnya telah diadakan mandi awal oleh keluarga, yang disebut “ Taluhu Ongo ngala’a “( air mandi keluarga ).
3. Acara yang berlangsung dirumah duka adalah mengukur mayat, untuk kepentingan menggunting kain kafan dan mengukur kubur.
4. Usungan yang disiapkan, ialah usungan untuk mayat dan usungan Lo Huwa ( yang berfungsi sebagai pemandu ).
5. Disaat kuburan digali, kain kafanpun digunting, dan tahlil belangsung pula.
6. Selesai dimandikan, lalu dkafankan , dan seterusnya sholat jenazah. Acara dirumah selesai pada saat sholat jenazah.
Acara ditempat pemakaman berturut- turut sebagai berikut :
1. Penurunan dari usungan.
2. Masukkan kekubur dan sekaligus keliang lahat .
3. Membuka ikatan kafan an sekaligus memperdengarkan azan.
4. Memasang ‘ duwalo’ dan tiang – tiang pelindung yang dilapisi dengan ‘ wamo’o atau lapisan dari ijuk, diikuti dengan penimbunan dengan tanah.
5. Pemasangan tanda atau nisan.
6. Menyiram air.
7. Mogara’i atau memberi gelar..
8. Talqim dan Doa.
Acara Kegiatan Hileyiya atau peringatan doa – arwah terhadap yang meninggal, sebagai berikut :
1. Hari pertama, kegiatan tahlil.
2. Hari ketiga, kegiatan tahlil dan takziah.
3. Hari kelima, kegiatan tahlil dan takziah
4. Hari ketujuh, kegiatan tahlil dan doa arwah secara umum / atau undangan.
5. Hari keempat puluh, penurunan batu nisan.
6. Hari keseratus, kegiatan tahlilan.
7. Hari duaratus, kegiatan tahlilan.
8. Hari tigaratus, kegiatan tahlilan.
Selesai hari ketigaratus, kegiatan keluarga hanyalah peringatan tiap tahun pada hari kematiannya dengan istilah adat “ Mo’ela Mongopanggola”, artinya mengingat arwah orang tua – tua, atau lebih dikenal dengan istilah “ MOHUWULU”.
C. PEMBUATAN TU’ADU AADATI, ATAU TOLITIHU (Tangga Adat ).
Tangga adat atau Tolitihu adalah pertanda pelaksanaan upacara adat. Yang bertugas melaksanakan pembuatan tu’adu aadti ini adalah Kepala Kampung di rumah duka itu. Pembuatannya diserahkan kepada aparat kampung yang terdiri dari :
- Dulutuli ( Juru tulis ).
- Mayulu ( Mayur kampung )
- Pualayihe ( Kepala Pedukuhan ).
- Serta beberapa orang anggota masyarakat yang tahu tentang pekerjaan tersebut.
Bahan- bahan bangunan terdiri dari :
1. Dua pohon pisang
2. Bambu kuning ( Talilo Hulawa ) sesuai kebutuhan.
3. Pucuk jamur yang disebut ‘ Lale “ sesuai kebutuhan.
Bentuk bangunannya terdiri dari :
1). Empat buah tiang setinggi dasar lantai rumah, dipancangkan ditanah, didepan pintu masuk kedalam rumah, diatasnya diletakan diujung tangga, sedang ujung lainnya langsung ketanah.
2). Tangganya yang dianyam disebut Tolitihu terdiri dari susunan lima pohon bambu yang melintang, yang membentuk empat bagian yang diisi dan dianyam dengan bambu- bambu yang telah dibelah - belah selebar kira –kira 5 cm.
3). Lima potong bambu diatas akan membentuk rangka tangga yang dirangkaikan dengan empat bilah bambu memanjang dari pintu rumah ketanah, tangga itu terletak diatas empat potong buluh yang memanjang itu.
4). Dipintu masuk dibuat jamur yang melengkung yang diikat pada dua pohon pinang yang didirikan dikiri dan dikanan.
5). Disebelah luar pohon pinang dipasang lagi 2 potong bambu kuning yang ujungnya terbuka seperti mulut buaya (Ngango Lo Huwayu) .
6). Dikiri kanan tangga dibuat tempat pegangan dan diatasnya digantungkan Lale ‘ ( jamur ) sepanjang tangga itu.
D. Makna acara Persiapan
Ada dua hal yang penting mengwali persiapan yaitu :
1). Musyawarah, yang melibatkan para pemangku adat, pegawai syarak, pemerintah setempat termasuk kepala Kampung dan keluarga. Dasar musyawarah adalah asas kekeluargaan, sehingga terwujud rasa cinta masyarakat bersama keluarga terhadap yang meninggal. Hal ini merupakan pokok keberhasilan berlangsungnya acara pemakaman dengan sempurna. Pada musyawarah ini pula, tercipta pembahagian tugas, kebersamaan kegiatan sesuai waktu pelaksanaan .
Wujud hasil musyawarah, dan sebagai pengumuman terhadap U lipu ( negeri dan rakyat ) adalah pembuatan “ Tu’ adu aadti “ atau To litihu. Makna tu’adu Tolitihu adalah sebagai berikut :
1 Lanadasan kepribadian, bahwa yang mininggal adalah pejabat Negeri atau Khalifa.
2 Lanadasan buto’o bahwa yang meninggal adalah pejabat yang berpegang teguh pada “ Buto’o lo ulipu “ atau kepentingan Negeri.
3 Landasan kekuasaan, bahwa yang meninggal adalah mengayomi masyarakat atau rakyatnya.
4 Landasan pemerintahan, bahwa rakyat merasakan kearifan dan kebijaksanaannya , dalam mentaati ketentuan Negeri.
5 Merupakan gambaran kesatuan dan persatuan antara rakyat, bubato, pemangku – pemangku adat, syara’ ( biang agama ), Bala ( perangkat keamanan ).
Dengan makna inilah upacara terebut dapat bertahan hidup di tengah –tengah masyarakat pendukungnya yaitu suku Gorontalo.
PENYELENGGARAAN PEMAKAMAN
A. Empat Unsur Adat Yang Mendahuluinya.
1. Taluhu Ungongala’a
a. Taluhu ungongaala’a, biasa juga disebut “ Mopolihu Lo Bele” yaitu sebagai ketentuan adat, yaitu dimandikan oleh keluarga sebelum mandi wajib bagi jenazah. Pensucian diri jenazah oleh keluarga ini disebut juga “ mopodungga taluhu lo auwali “ Pelaksanaannya adalah keluarga, bukan pegawai syarak.
b. Makna adat ini, adalah pembersihan kesalahan- kesalahan jenazah dalam perjalanannya keakherat.
2. Pu’o liyo
a. Pu’o liyo berari dibangunkan. Bagi seorang yang meninggal sebelum pukul 24.00, belum dimakamkan, dan diberlakukan adat “ pu’o liyo” dan “ mopotuluhu “ to buto’o menidurkan dengan adat mopulihu dan motahalili ( mandi dan tahlil ), yang dilaksanakan oleh pegawai syarak, pa’ili dan hatibi, dengan diawasi oleh Kepala Kampung.
b. Keyakinan adat bahwa mandi adalah pensucian dan tahlil adalah permohonan keampunan bagi jenazah, serta diterima arwahnya, mendapat tempat layak disisiNya.
c. Mopu’owa ( saling membangunkan ), yakni giliran jaga bagi keluarga dan para anggota bowatulo Totolu.
d. Saat ini acara point ( c ) tidak diberlakukan lagi, sebab pelaksanaan pemakaman lebih dipercepat.
3. Mopobulito Huhulo’o
a. Mopobulito huhulo’o, yaitu mengatur tempat duduk sesuai ketentuan adat, ditempat yang telah ditentukan dengan posisi sebagai :
1) Raja yang kini adalah Bupati / Waikota bertempat duduk ditengah – tengah deretan terdepan.
2) Disebelah kanannya adalah : Kadhi, Moputi, Hakim Pantongo, Imam, Syaradaa, Bilade, Hatibi, ( Kasisi ), Pa’ili serta mantan Pegawai syara dan para Syarak dan para syech.)
3) Disebelah kiri; para Bubato Jogugu, Wuka Lo Lipu atau Camat, Wali- Wali mowali, Mayulu Da’a, Baate, Kimalaha, dst. Termasuk pensiunan para pejabat yang masih hidup.
4) Di bagian belakang duduk para pemuka masyarakat lainnya, dan rakyat.
b. Makna Huhulo’a Bulita sebagai berikut :
1) Penghormatan pada setiap tingkatan derajat dan kedudukan sosial sesuai fungsinya masing – masing.
2) Pelaksanaan tugas dengan ikhlas serta rasa tanggung jawab, mendapatkan penghargaan dari rakyat.
3) RakYat selalu berada dibarisan belakang, meladani dan mematuhi perintah dari Buwatula To Tolu, yang dikembangkan dengan tangga adat.
4) Persatuan “ U lipu “ terjalin dengan baik sepanjang masa.
4. Mopobulito Huhulo’o
Mopodidi mengandung tiga pengertian :
a. Didi berarti hujan, dalam pengertian, orang yang memakai kain putih yang dibagikan, artinya kena percikan hujan, atau turut berduka cita.
b. Didiki, yang berarti rezeki, artinya kalau ada hujan berarti ada rezeki bagi tanaman. Hal ini ditandai dengan pada hari arwah ke – 40 toyopo dan bako hati, yang berisi makanan menjadi didi terhadap yang hadir.
c. Modidi wawu maahu, artinya melebur dan hangus, mangandung pengertian bahwa didunia ini tidak ada yang kekal, yang beku melebur yang keras akan hancur.
d. Mopodidi berarti pihak keluarga yang berduka meyerahkan kain putih yang berukuran satu meter yang menjadi destar bagi pemakainya.
Yang berhak menerima dan memakai destar hanyalah khalifah dan bubato, tidak termasuk didalamnya pegawai syarak, sedang dari tokoh- tokoh masyarakat yang hadir dalam pemakan itu, terbatas pada wali-wali mowali saja.
Dahulu, segala kalangan yang hadir mendapat kain putih tersebut, sesuai arti ‘didi’ itu sendiri. Pembatasan terjadi antara lain, karena sesuai dengan kemampuan menyediakan ‘didi’
Yang wajib memasangnya adalah kepala kampung, atau pemangku adat yang ditunjuk untuk itu.
c. Makna Mopodidi adalah sebagai berikut :
Berupa curahan penghormatan dan permohonan oleh keluarga yang berduka kepada yang menerima didi atau kain destar.
Berupa kewajiban bagi penerima didi, untuk memohon magfirah Allah atas segala dosa –dosa yang telah dibuat oleh jenazah dimana hidupnya.
Dari segi dimaksud, mopodidi berkelanjutan yaitu melalui Toyopo, bako hati, dan makanan disaat hari keempat puluh.
B. Penggalian Kubur
1. Pelaksanaan adat pemakaman dipimpin oleh Baate dan untuk menetapkan petugas adalah Kepala Kampung. Petugas terdiri dari 5 orang yaitu :
Yang memandikan
Yang membuat pola kain kafan.
Yang bertahlil.
Yang meminta tanah kuburan.
Yang menggali kubur.
Khusus untuk menggali kubur dilaksanakan oleh lima petugas. Apabia jenazah rakyat biasa, maka petugas untuk memintah tanah dan penggalian kubur di pimpin oleh Hatibi atau Kasisi selaku pegawai Syarak di kampung, Hatibi adalah petugas yang menentukan dan mengawasi penggalian kubur agar sesuai dengan ketentuan ajaran Islam.
Yang meminta tanah dan melakukan penggalian awal adalah pegawai syarak tersebut. Sedang empat orang petugas lainnya melanjutkan penggalian kubur sampai dengan pembuatan liang lahatnya, mempersiapkan batu nisan, mempersiapkan ‘duwalo’ ( potongan – potongan bambu ) atau papan sepanjang lebih kurang 75 cm yang berfungsi sebagai pelindung mayat, dan menyiapkan ‘ wamao’ ( bahan pelapis duwalo) dari pada ijuk pohon enau.
Sebelum menggali kubur disiapkan lebih dahulu ukuran panjang jenazah oleh kasisi atau Hatibi. Panjang kubur yang digali sama panjang dengan dengan panjangnya jenazah yang bersangkutan.
Apabila yang dimakamkan jenazah seorang Raja maka yang minta tanah adalah Hakimu dari perangkat syarak. Hakimu pula yang mengukur panjang jenazah. Ukuran jenazah tersebut dibawa dengan genderang ketempat tanah kuburan yang akan diminta itu. Ukuaran jenazah tersebut diletakan dibaki dan diSatriangi, dikawal oleh;
Pobuwa, pasukan yang dipimpin oleh paaha atau palawani.
Ta’ uwa lo pobuwa ( kepala atau komandan palawani)
Mayulu dan Udula’a, kepala-kepala kampung.
Pegawai syarak yang terdiri dari ;
- Ti Pantungo.
- TI Hakimu.
- Ti Imamu
- Ti Syaradaa.
C. Mogara’i
Mogara’i adalah pemberian gelar ( gara’i ) kepada jenazah. Pemberian gelar tidak terbatas pada mongopulubila saja, tetapi termasuk juga “ Tawu Daata” dengan syarat yang bersangkutan telah memperlihatkan / berbuat jasa –jasa baik dan karya –karya nyata didalam masyarakat selama hidupnya.
Maksud pemberian gara’i menurut S.R. Nur ( 1979 : 151 -152 ialah
1. Merupakan pemberian kehormatan kepada seorang pejabat maupun bukan pejabat terhadap segala karyanya yang berguna bagi umum dimasa hidupnya.
2. Merupakan teladan bagi manusia lain terutama turunannya untuk membuat karya – karya seperti telah dibuat oleh ayahnya, kakeknya, neneknya, jika gara’i itu bernilai positif.
3. Menjadi cambuk / dorongan atau diistilahkan “ Wuntulo “ Bagi siapa saja, terutama bagi keturunannya dari yang diberi gara’i untuk mengrehalibiti nama baik ayah diberi gara’i untuk menghasilkan nama baik ayah, neneknya, kakeknya, jika gara’i yang diberikan itu sinis. Ada 2 ( dua ) macam gara’i menurut sifatnya yaitu ;
1. Mengandung pujian diistilahkan “ TAYUYU “
2. Mengandung ejekan / sinis, diistilahkan “ WENTE’O.
Pulanga yang dimiliki oleh seorang pejabat, apabila dia telah meninggal tidak menjadi syarat dalam pemberian gara’i. Seorang pejabat pada waktu memegang tampuk pimpinan dan belum diberikan pulanga, apabila meninggal dunia dapat diberikan gara’i berdasarkan karya dan jasa –jasanya.
Acara mogara’i atau memberikan gelar didahului oleh musyawarah “ U Duluwu Lo’u Limo Lo Pohala’a “ yang dipimpin oleh Baate atau Wu’u selaku penanggung jawab pelaksanaan acara . Musyawarah dilaksanakan setelah selesai mopodidi. Yang hadir dalam acara musyawarah itu antara lain Kadhi bersama aparatnya, pemangku-pemangku adat dan keluarga yang berduka. Musyawarah itu diadakan ditempat pembuatan kabatala bukan dirumah kedukaan.
Usul gelar datang dari Baate dan harus disetujui terutama oleh keluarga almarhum / almarhumah. Gelar itu biasanya disamping didasarkan atas karya dan jasa – jasanya, juga dinilai dari sikap dan kepribadiannya. Misalnya Bupati A. Wahab dengan Gara’i “ TAA LO TOLOTINEPO “, artinya, yang menghargai rakyat, Camat NICO RAHIM dengan gara’i TAA YILLOYOONGA TO LIPU “
Makna pemberian gelar itu terhadap yang bersangkutan sebagai penghormatan yang terakhir, dan berupa pernyataan bahwa hidup penuh kebaikan dan pengabdian itulah yang bernilai dan meninggikan nama bagi yang meninggal.
Dengan menyebutkan segala kebaikan yang disimpulkan gelar itu merupakan pula ‘dulialo’ atau takziah yang paling benilai terhaap keluarga yang berduka Almarhum ataupun keluarga mendapat penghormatan dari ulipu dan nilai baik dimata masyarakat.
Bagi rakyat banyak nilainya adalah hal yang patut diikuti. Jadi merupakan pendorong kearah perbuatan- perbuatan yang dan benilai sosial.
D. Pembuatan Usungan
Salah satu dari kegiatan dari Kabatala atau perlengkapan jenazah, adalah dari :
a. Kain kafan beserta perlengkapannya yang terdiri dari, kemenyan, kayu Cendana dan kapas.
b. Air mandi dan perlengkapannya, yaitu sabun cuci kapur barus, pupur batu.
c. Bunga rampai.
d. Genderang hantalo.
e. Sedekah, dll
Pembuatan “ huhulihe “ ( usungan ) dilaksanakan oleh keluarga dengan bantuan para tetangga, handaitolan yang terutama kaum ibu. Dewasa ini masalah usungan tidak sulit lagi karena setiap mesjid telah menyediakan usungan.
Dilihat dari status jenazah itu maka ada beberapa macam bentuk usungan bila dilihat dari bagian atasnya. Bagi tuango lipu atau rakyat, usungan biasa saja tidak ada suatu bentuk bangunan hias diatas penutup usungan itu, kecuali empat tangkai bunga yang dibuat dari kain putih (tombutungo), yang ditancapkan pada empat sudut bagian penutupnya. Inipun kelihatannya kadang-kadang ada, kadang-kadang pula tidak ada. Usungan tersebut kadang-kadang dilengkapi dengan dua atau empat buah Satriang dan kadang-kadang pula tidak memakai Satriang.
Hiasan atau kelambu yang menutup usungan segi empat itu berwarna putih. Penutupnya ada dua bagian, yaitu penutup usungan itu sendiri yang dibuat dari kain putih dan penutup untuk jenazah yang diletakkan dalam usungan.
Bentuk penutup jenazah itu dasarnya segi empat dan bagian atas penutupnya berbentuk setengah lingkaran (bulati’a). Dibagian sisi atas usungan dililiti dengan kain berwarna hitam, hijau atau biru tua dengan lebar empat puluh centimeter. Diatas kain lilitan itu tertulis nama Allah dengan tulisan warna emas disepanjang kain itu dengan menggunakan jarak tertentu antara tulisan yang satu dengan tulisan berikutnya. Kain lilitan itu yang disebut “ pasimeni ” ada juga yang menyebut “ pakadanga “ artinya yang dikeataskan.
Usungan bagi jenazah Raja, dan yang setingkat dengannya seperti Kadhi, Bupati atau Walikota, dibagian penutup usungan sebelah atas diletakkan bentuk hiasan yang disebut “ Ka’abah “. Dasar Ka’abah segi empat sebesar penutup usungan. Dari empat segi itu dibangun empat sisinya dan bertemu pada satu sudut puncak. Tingginya sekitar 70 cm.
Ka’abah tersebut ditutup pula dengan kain putih. Diatas sudut puncak didirikan satu tiang dan pada tiang itu dibuat lingkaran minimal tiga buah bersusun yang bentuk dan besarnya sama seperti gula batu (pahangga) setengah kg. Bagi usungan jenazah Raja, diatas tiang itu diletakkan “paluwala” atau mahkota kerajaan sebagai lambang kewibawaan kerajaan.
Untuk usungan Kadhi dan Mufti bakan memakai paluwala tetapi “Sorban”, untuk Baate, Wu’u memakai destar (Satriango). Bagi mereka yang pernah menjabat sebagai Jogugu atau Wedana, pambantu Bupati, wakil Bupati/ Walikota, usungannya sama dengan usungan Raja.
Usungan dari para pejabat tersebut dihiasi lagi dengan kain yang dijahit tergantung dibawah pakadanga (pasimeni). Ukuran kain tersebut lebarnya sekitar 40 cm. Ujungnya yang tergantung dilipat keatas terdiri dari beberapa lipatan, sehingga lipatan-lipatan itu membentuk segitiga. Tiap lipatan dibuat dibuat selebar 10 cm. Kain tersebut dalam bahasa adat disebut “timba”. Disisi bagian kiri dan kanan usungan masing-masing terdiri dari dua helai dan disisi bagian muka dan belakang masing-masing sehelai saja.
Pelengkap usungan lainnya adalah empat buah Satriang atau lebih, yang akan mengiringnya disisi kiri dan kanan. Satriang adat ini disebut “Toyungo Bilanga” artinya Satriang kemuliaan. Warnanya kuning tua/ kuning keemasan. Kreasi sekarang adalah Satriang hitam dengan hiasan bahagian bawahnya adalah kelambu putih, tergantung 50 cm melingkari tepi Satriang.
Usungan jenazah Raja, dilengkapi dengan “Huhulihe lo Hua” (usungan goa), menurut sejarahnya suatu pertanda ada kerja sama, antara kerajaan Gorontalo dengan kerajaan Goa. Usungan Goa berada didepan, sebagai pemandu atau pembuka jalan.
Usungan itu dibawah oleh satu kelompok pasukan ( Pobuwa ) dipimpin oleh pahlawani, dan dipikul maju mundur dengan maksud membuka jalan yang dilalui oleh usungan jenazah itu. Usungan Goa dilingkari dengan kain putih sedang pembawanya memakai destar putih. Isinya adalah kelapa muda, tebu, mulut buaya yang dibuat dari bambu kuning dan janur. Kain putih yang melingkari usungan itu disedekahkan kepada pembawanya yang empat orang itu.
Jenis dan bentuk usungan untuk Raja berlaku pula bagi usungan jenazah pembantu Bupati/ wakil Bupati yakni Ka’abah berpaluwala sedangkan untuk Kadhi dan Mufti, sorban diatas ka’abah, Baate dan wu’u destar (Satriango) diatas Ka’abah. Untuk wulea lolipu atau camat, jenis usungannya sama, hanya berbeda pada Ka’abah, tidak penuh pada penutup usugan tetapi lebih kecil dan hanya memakai destar diatasnya.
Kalau Mbu’i yang meninggal yaitu istri raja atau Istri Bupati, Walikota, Pembantu Bupati , usungannya tidak memakai Ka’abah tetapi bulati’a. Bentuk dasarnya segi empat sebesar penutup usungan dan diatas dasar itu dibuat bentuk penutup sepanjang segi empat, setengah lingkaran. Bagi usungan jenazah istri wuka lo lipu, bulatia’a tidak penuh pada penutup usungan.
Menurut sejarah Kerajaan Limboto dan Gorontalo ada beberapa Mbu’i yang bertepatan pula. Sementara jabatan Maharaja atau bekas maharaja. Ketika wafat diberi penghormatan pada huhulihe dengan memakaikan Ka’bah. Maharaja- maharaja itu adalah antara lain MITU dan Limboto, Molie dari Gorontalo.
Tahuda’a mengatakan :
- ILOMATA LO’U BU’A : Karya Bakti wanita.
- ODE Lai POHUTUWA : Upacarakan sebagai laki-laki.
- TADIDIO TAYUYUWA : Hormati dan muliakanlah.
- ILOMATA TO LAHUWA : Karya bakti pada negara
- YELINGGALA LO BUWA : yang didharmakan oleh wanita.
- LA’I - LA’I POHUTUWA : Upacara seperti laki-laki.
Dengan demikian gender wanita tetap dihargai sejak dahulu menurut adat Gorontalo.
Makna : Adapun usungan beserta hiasan – hiasannya mengandung berbagai macam makna. Usungan itu sendiri menggambarkan tanda kebesaran bagi yang meninggal, dan berupa pemberian kemulyaan kepadanya sebagai penghargaan yang datang dari Ulipu. Sedang makna bagian – bagiannya yang terdiri dari kelambu bemakna aturan dasar adat; bulati’a bermakna ketentuan – ketentuan yang tidak bertentangan dengan adat yang disebut “ Wu’udu “,dan hiasan bulatia’a bermakna kebijaksanaan – kebijaksanaan atau “tinepo”. Maknanya ini menunjukan bahwa yang meninggal adalah pemimpin rakyat yang taat atas segala ketentuan lo ulipu dan disertai dengan tindakan- tindakan yang penuh kebijaksanaan.
Kain kelambu yang digunakan terdiri dari :
- Warna putih perlambang kesucian atau pakaian ikhram.
- Warna hijau perlambang warana selendang Rasulullah.
Warna – warna kain tersebut mengandung makna agar yang meninggal memperoleh rahmat kesucian dari Allah serta mendapatkan safuat Rasulullah.
Kain hiasan yang disebut “ timba “ atau “ selendang ” bermakna, bahwa yag diusung adalah orang yang terhormat, begitu pula Satriang – Satriang pengiring adalah perlambang kebesaran.
Ka’abah merupakan hiasan diatas penutup usungan mengandung makna bahwa yang meninggal itu adalah seorang yang memikul kepemimpinan negeri. Dan bentuk gula batu ( 3 buah ) pahangga bermakna tiga unsur pimpinan negeri yaitu :
- Pahangga pertama; menunjukan kedudukan Raja atau pimpinan negeri ( bubato ).
- Pahangga kedua; menunjukan kedudukan pimpinan agama (syarak).
- Pahangga ketiga; menunjukan kedudukan pimpinan negeri yang dikenal Adati termasuk pimpinan keamanan negeri (Bala ).
Pahangga pertama adalah yang paling bawah, yaitu menjadi penunjuk pimpinan negeri atau Raja, hal ini membuktikan bahwa pimpinan negeri atau Raja, adalah yang memikul segala tanggung jawab pemerintahan disemua bidang . Pimpinan negeri menjadi tanggung jawab tunggal didaerah seperti yang berlaku pada undang – undang. Pokok Pemerintahan didaerah nomor 5 Tahun 1974.
Ka’abah yang dibatasi pada keempat sudut penutup usungan, dengan 4 buah “ Tombutungo “.
Tombutungo adalah setangkai bunga yang dibuat dari kain putih kira-kira sebesar bunga matahari yang dibuat bertangkai satu, dan setiap tangkai bersusun dua buah.
Ka’abah yang dikelilingi oleh 4 buah tombutungo itu mengandung makna bahwa didalam disebutkan nama Allah atau pertanda Zikir kepada Allah. Hal ini memberi makna yang lebih luas lagi terhadap yang meninggal, merupakan pertanda akan zikirnya kepada Allah sebagai mana dia masih hidup, selanjutnya merupakan doa, bahwa yang meninggal berada diarena yang penuh rahmat Allah.
Makna dari empat tangkai bunga kain ( ma’ana lo tombutungo ) pada keempat sudut usungan sebelah atas, yaitu ke empat sifat/ unsur yang ada pada diri manusia, yaitu tanah, api, air dan angin. Ke empatnya harus digunakan secara seimbang dengan kadar yang tertentu, dabawah naungan Ka’abah ( umat Allah ).
Makna “bulati’a” pada usungan Mbu’i merupakan tanda kebesaran dan kemuliaan bagi jenazah yang ada dalam usungan.
E. Menggunting kain kafan
Kain kafan terdiri dari kain putih bersih, yang halus dan lembut.
Kain kafan digunting, sesuai ukuran panjang jenazah ditambah sehasta dari ukuran sebenarnya.
Pelaksana seluruhnya adalah pegawai syarak yaitu Kadhi, Imam, Syarada’a, Bilal ataupun Leli, ditambah pemangku adat.
Pertama-tama kain kafan diletakkan dihadapan para pegawai Syarak. Kadhi dan Imam memulai tahlil, setelah selesai tahlil barulah menggunting kain kafan.
Bagi jenazah Tuango lipu atau rakyat biasa, bukan pejabat/ bubato, yang memola kain kafannya cukuplah pegawai Syarak dari kampung yang bersangkutan yaitu Hatibi, Bilal atau Syarada’a. Demikian pula pelaksanaan tahlilnya.
Makna sebelum dipola kain kafan didahului dengan tahlilan agar pengguntingan kain kafan didalam wadah tahlilan.
Cara yang kedua, sambil tahlilan, menggunting kain kafan setelah tahlilan, selesai menggunting kain kafan . Maksudnya, agar kain kafan menjadi suci, menyucikan lahir bathin jenazah.
Kedua-duanya benar, tujuannya hanya satu sebagai doa agar jenazah itu mendapat rahmat ampunan Allah.
F. Memandikan
1. Adat memandikan mayat disesuaikan dengan ketentuan syare’at islam pelaksananya adalah pegawai Syarak, yaitu yang disebut Pa’ili, dibantu oleh keluarga yang meninggal. Kalau pimpinan negeri yang meninggal maka pelaksanaannya adalah Baate atau Wu’u.
2. Pada saat Kabatala sudah siap dipasang pada usungan maka acara memandikan dimulai yang akan menuangkan air pertama (mopodongga lo taluhu) ialah kalau Raja atau pimpinan negeri yang meninggal maka Kadhi /Imam yang berkewajiban. Kalau bubato oleh Imam / Syarada’a dan rakyat oleh bilale dan selanjutnya untuk ketiganya adalah Pa’ili.
3. Air mandi yang disiapkan ada tiga macam sbb:
a. Air yang digunakan pada awal pemandian adalah tujuh perian air adat.
b. Air mandi lanjutan menurut ketentuan islam.
c. Air dalam tiga gelas sesuai dengan ketentuan adat sebagai air terakhir.
4. Dalam memandikan ini diikuti dengan tuja’i-tuja’i (sajak-sajak sebagai berikut):
a. Yang bertugas memandikan akan memasuki kamar jenazah, lalu bertujai :
- MONGGUMO ( 3x ) : Aman (3x). - BANGI WAWU BANGI : Bukalah dan bukalah.
- BANGI WAWU HIYANGI : Bukalah dan memiggirlah
- BANGI MA’O DALALO : Bukalah jalan.
- MA’A MOTA POMUHUTALO : Kami akan memandikan
b. Ba’ate didalam kamar melanjutkan tujainya :
- EYANGGU (3x) : Tuanku (3x). - MAA YILO DUDULA MAYI : telah datang mendekat.
- MONGO WUTATONTO EEYA : Saudara – saudara tuanku
- MONGO TIYAMANTO EEYA : Para ayahanda tuanku.
- MONGO TILANTO EEYA : Para ibunda tuanku
- WOLAMIYATIYA MONGO TIYOMBUNTO EEYA : Bersama kami para nenenda tuanku
- TEETO TEYA, TEEYA TEETO : Disana disini, disini disana
- MA’A MOLUTULA MOLALUNGA
OLANTO EEYA : Datang memakamkan tuanku.
- ITO EEYA MA DEPITALA WU’UDU : Tuanku dimakamkan secara adat
c. Siraman perian pertama oleh Imam dan diiringi dengan tujai oleh Baate sebagai berikut :
- Botiya Taluhi Wombunto : Inilah air cucunda
- Talu dipo lo bunto : (Air yang belum terputus)
Adat istiadat yang dipakai
- Tiya pa mohuto : Sekarang akan disiramkan
- Taluhu lonto Makkah : Air dari Makkah ( tanah suci )
- Matilime to data : Ditimba di negeri
- Botiya pa mota : Sekarang akan disiramkan.
- Bilohi lo tawu data : Disaksikan oleh hadirin
- Eyanggu : Tuanku.
d. Siraman perian kedua dengan tujai :
- Taa pulu lo hunggiya : Paduka tuan pimpinan negeri.
- To’u yito to’u tiya : Disana dan disini .
- Lo’u limo luhunggia : Dilima wilayah negeri
- Mato lo dula botiya : Matahari negeri ini.
- Longuli lo awaliya : Telah berpulang keasalnya.
- Eyanggu : Tuanku.
e. Siraman perian ketiga dengan tujai :
- Bo du’awa to Allah : Bermohon doa kepada Allah
- Wolo Nabi Mursala : Dengan Nabi yang bermukjizat.
- Banga liyo ma oto dala : Diterangi akan jalannya.
- Ode Otuwewu lo Allah : Pada Allah yang Esa
- Insya Allah Eyanggu : Insya Allah tuanku.
f. Siraman perian keempat sampai dengan ketujuh diserahkan kepada pegawai Syarak tanpa tujai lagi. Demikian pula lanjutan pemandiannya setelah perian yang ketujuh.
M A K N A
Tujuh Perian ( bambu kuning berisi air ) itu mengandung makna permohonan doa kepada Allah oleh pegawai Syarak agar jenazah yang sementara dimandikan akan memperoleh maghfira Allah.
Setelah selesai dimandikan oleh pegawai syarak diakhiri dengan mandi adat berupa tiga gelas air yang disebut “ TALUHU DIYO “ air itu terdiri dari tiga macam warna yaitu : putih, kuning, dan coklat. Air berwarna kuning dan coklat, berisi ramuan wangi – wangian ( mato lo liomonu ), dan kapur barus.
Yang betugas menyiramkan air Li Duyo bagi Jenazah Raja atau pejabat adalah TI PANTONGO atau TI HAKIMU. Kalau jenazah rakyat atau Towango lipu yang menyiramkannya air tersebut dimulai dari kepala terus ke kaki dan berakhir dibagian pusat.
M A K N A
Tiga macam air tersebut mengandung makna sebagai berikut :
Yang coklat atau merah darah adalah untuk mensucikan sifat amarah, warna kuning berfungsi mensucikan perbuatan yang kotor yang bersumber dari kalbu, dan warna putih, mensucikan kesalahan atau dosa yang telah dilakukan selama hidup.
Tiba saatnya mengafani jenazah yang di dahului dengan tuja’i oleh Baate sebagai berikut:
- Taabiya boli taabiya : Yang amat disayangi dan dikasihi
- Momolayi lo ladiya : Pembesar disinggasana
- Liduto balamahiya : Orang berjasa besar
- Aati banta ilo hidiya : Ananda yang tersayang
- Ode ta pilomiya : Kembali ke alam baka
- Eyanggu : Tuanku
Sementara mengafani berlangsung, takhlil juga berlangsung sampai dengan ikatan kain kafan terakhir. Hal ini bermakna agar rahmat zikir akan menjadi kesucian lahir bathin dan maghfirah Allah terhadap jenazah yang bersangkutan.
G. Shalat Jenazah
1. Pelaksana shalat jenazah berlandaskan ajaran Islam
2. Tempat Pelaksanaan :
a. Kebiasaan adat dirumah duka
b. Sesuai kondisi tempat dihalaman rumah (Dalam usungan).
c. Secara umum di masjid terdekat.
3. Yang menjadi imam sholat jenazah haruslah seorang yang lebih mahir mengenai ilmu agama, yaitu Kadli, Imam, sesuai adat.
4. Jenazah yang akan diangkat dari kamar pemandian sampai ke usungan, harus diiringi dengan tuja’i
- Wombu maa yilolola data : yang mulia telah meninggalkan negeri
- Wawu tawu data : dan masyarakat
- Polayi’olo mayi : silahkan menuju kemari
- Wawu po lu walo lo mayi : dan majulah kemari
- Ode huta muliya : ketanah yang mulia
- Ode Eya muliya : kepada Tuhan yang maha mulia
- Eyanggu : tuanku
5. Dari serambi menuju ke tangga dengan Tuja’i
- Wombu ma yi lolola : yang mulia telah meninggalkan negeri
- Wahu po ti hadiriya : dan persiapkanlah.
- Hilawo malo sadiya : dengan hati yang yakin
- Ode Eya muliya : kepada Tuhan maha mulia
- Eyanggu : Tuanku
6. Menurunkan dari tangga ke halaman dengan Tuja’i
- Mohile Du’a to Allah : bermohon kepada Allah
- Baangaliyo ma’o to dala : dibukakan jalan
- Mola mo’opiyo masala : luput dari masalah
- To lipu lo Allah : di negeri yang baka
- Eyanggu : tuanku
7. Dari halaman ke usungan dengan tuja’i:
- Wombu ma yilolola : yang mulia meninggalkan negeri
- Bisimillah huwata : dengan nama Allah angkatlah
- Bilohi tawu data : lihatlah wahai orang banyak
- Eyanggu : tuanku
Dengan selesainya tuja’i tersebut di atas berarti selesailah sudah pula acara jenazah di rumah dan dilanjutkan desngan acara pemakaman di kuburan.
P E M A K A M A N
A. Pengusungan
Setelah jenazah diangkat menuju ke kuburan atau penguburan maka berlangsunglah yang disebut acara Molalunga. Sebelum jenazah di Tuja’i sebagai berikut:
- Tinuhu Bulotahula : ditandai dengan bunyi-bunyian
- Tapulu molontahulo : Almarhum akan di usung
- Polimalo wu’udualo : diupacarakan dengan adat istiadat
- Tonelo wu’uudulo : tata cara tersusun baik
- Aati pilohuwata : kasihan keluarga dan rakyat yang ditinggalkan
- Eyanggu : tuanku
Disusul oleh pemangku adat yang lain :
- Tapulo lo data : Pemegang tampuk pemerintahan negeri
- Buheli diya’apa : berani dan tegas
- Lipu hele diyota : negeri telah kehilangan
- Molomo buliyota : kini dalam berkabung
- Eyanggu : tuanku
Selesai Tuja’i usungan diangkat dan di bawah oleh bubato, bala (keamanan), Pobuwa di dahului dengan Huhulihe Lo Huwa. Di belakang usungan (Huhulihe lo Huwa), adalah Mayulu, baate, wu’u dan pemangku adat lainnya, meyusul usungan jenazah, serta di kawal oleh seluruh bubato, pegawai syarak dan masyarakat umum. Usungan tersebut diiringi Satriang-Satriang kebesaran, yang terdiri dari :
a. Satriang warna hitam yang dililiti dengan kain putih tergantung ke bawah, ukuran 40 cm di tempatkan di bagian kaki jenzah (belakang usungan).
b. Satriang warna orange, bentuknya sama dengan Satriang hitam, ditempatkan pada bagian kepala jenazah dan bagian depan usungan .
Bahan-bahan yang diikut sertakan adalah sebuah toples yang terdiri dari air kembang, yang akan disiramkan di atas kubur,(setelah timbunan tanah diratakan), beberapa buah baki yang berisi bunga rampai yang akan dihamburkan di atas kuburan, tempat sirih pinang yang dibungkus dengan kain putih diletakkan diatas kaki, serta hukade (tempat ludah), tikar alas yang dibungkus dengan kain putih, untuk kepentingan orang yang bertalkin di atas kuburan. Makna tempat sirih-pinang dan hukade, sebagai pertanda bahwa acara pemakaman dilaksanakan secara adat, karena isi tempat sirih-pinang itu masing-masing :
- Pinang sebagai daging adat
- Sirih sebagai urat adat
- Tembakau sebagai bulu roma adat
- Gambir sebagai darah adat
- Kapur sebagai tulang belulang adat
Setelah usungan tiba di kuburan, maka jenazah di keluarkan dan diangkat oleh keluarga dan diserahkan kepada 4 ( empat ) orang yang sudah menunggu dilubang kuburan, sebelum jenazah dikeluarkan dari usungan, didahului dengan tuja’i sebagai :
- Aati boo modulohupa : Marilah kita bermusyawarah
- Tinggayi pilohibuta : Sama-sama berkabung
- Boo modudula : Kita sama-sama berkumpul
- Tinggayi matolodula : Sama-sama dalam posisi (Rahmat Allah)
- Mate Ngongowlula : Wafatnya orang sebantal (terkasih/tercinta)
- Eyanggu : Tuanku
B Penguburan
1. Jenazah dikeluarkan dari usungan dan diturunkan keliang lahat lalu diletakkan menurut ketentuan Islam. Sementara kafannya di buka, berlangsung azan yang diucapkan oleh Hatibi atau Bilal. Maksud azan ialah peringatan terakhir yang diperdengarkan oleh kepada jenazah itu.
2. Selanjutnya di pasang ‘Duwalo’ mulai dari arah kiri, dilapisi dengan wama’o atau ijuk agar tanah tidak masuk keliang lahat.
3. Yang diberikan kesempatan pertama menimbuni kubur adalah pihak keluarga, sebagai tanda pertemuan terakhir dan sekaligus sebagai perpisahan, dan dibantu oleh petugas-petugas yang menggali kubur
4. Selesai ditimbuni, Hatibi memasang tanda atau batu nisan, sesuai Satria (kerajaan) yaitu:
a. Satria lo Limutu (Limboto) Suwawa dan Tilamuta serta Paguat, untuk wanita 2 batu nisan dan untuk laki-laki 1 (satu) batu nisan.
b. Satria lo Hulanthalo (Gorontalo), Bolango dan Atinggola, untuk wanita 1 batu nisan, dan untuk laki-laki 2 batu nisan.
5. Batu nisan yang sementara dipakai, berupa batu gunung, atau tanaman bintalo ( jarak ), juga dahan bunga kamboja, sebab pemasangan batu nisan sebenarnya nanti hari ke empat puluh.
6. Bersamaan dengan batu nisan, juga ditanam pula TOMBUTUNGO, yang akan membatasi empat sudut kuburan itu.
7. Setelah selesai seluruh acara pemakaman, maka akan diletakan diatas kuburan rangka Ka’abah.
8. Acara selanjutnya adalah menyiramkan air di toples keatas kuburan oleh syarada’a atau hatibi.
Sebelumnya diawali dengan tuja’i yang diucapkan oleh Baate sebagai berikut :
Utiya tahuli yombunto : Ini adalah air nenek moyang.
Taluhi polobuto : Air dari sumber yang dulu.
Deetiya ma pohumuhuto : Sekarang akan disiramkan.
Bilohi tawu data : Saksikanlah wahai orang banyak.
Bolo du’ awo to rasulullah : Berselawatlah kepada Rasulullah.
To Rabur Gafur : Pada Tuhan maha pengampun.
To tinelo kuburu : Supaya terangnya dalam kubur.
Tatapu to nuru : Muda- mudahan dalam terang.
Eyanggu : Tuanku
9. Selesai penyiraman dilanjutkan dengan pemberian gara’i, melalui tuja’i yang mula-mula diucapkan oleh Camat atau Wuleya lo lipu sebagai berikut :
Potidungo- dungohe taa data : Hai orang banyak dengarkanlah ( diucapkan 3 kali).
Ma iloheluma’o li mongoli eya : Sudah dimusyawarahkan olehPimpinan Negeri.
Teeto teya, teeya teeto : Disana dan disini.
Tiyo Eeya ta longulima’o : Paduka tuan Raja almarhum.
Gara’i liyo Eeya botiya : Gelar almarhum adalah.
TA ………………..( 3X) : ( nama gelar yang disepakati ).
Eeyanggu………………… : Tuanku………………..
10. Setelah pemberian Gara’i, acara dilanjutkan dengan membaca talkin oleh pegawai syarak, dan di akhiri dengan membaca doa. Para bubato dan pemangku adat duduk mengelilingi kuburan. Selesai doa Baate mengundang untuk kembali kerumah duka setelah selesai berjabat tangan dengan keluarga.
Makna berjabat tangan setelah selesai doa adalah pencurahan dan keberkatan doa oleh hadirin kepada keluarga yang akan nanti terus dapat diterima oleh sijenazah dialam kuburnya.
C Sedekah
1. Selesai penguburan hiasan usungan dikeluarkan dan bersama dibawa kembali. Namun jahitan kelambu yang menutupi usungan tidak dirombak hanya dilepaskan, dengan maksud untuk dipasang kembali dirumah selama ( 7 ) hari. Kelambu tersebut dipandang oleh adat sebagai lambang arwah karena sejak hari pertama sampai hari ke tujuh roh orang yang meninggal masih ada didalam kelambu itu. Oleh karena itu sejak hari pemakaman sampai hari ketujuh roh orang yang meninggal masih ada didalam kelambu itu. Oleh karena itu sejak hari pemakaman sampi hari ke tujuh ada kegiatan – kegiatan adat yang dilakukan oleh pegawai syarak.
2. Para penyelenggara upacara pemakaman baik para pemangku adat, pegawai syarak maupun para pemimpin negeri memperoleh hak berupa balas jasa atau sedekah- sedekah disesuaikan, dan berdasarkan kerelaan dari kepala keluarga yang berduka.
Bagi yang memandikan dan membaca talkin atau tahlil mendapat pakaian milik orang yang mati, seperti jas, kemeja, celana, sarung, batik, kopiah, sepatu maupun sajadah tempat sholatnya.
Para pelaksana lainnya memperoleh sedekah yang disebut “ilito taputo (pinggiran kain kafan)”. Pinggiran kain kafan ini, sebelum upacara pemakaman dimulai telah diserahkan oleh keluarga kepada pimpinan adat yaitu baate maupun Wu’u. Oleh baate, ilito taputo itu akan dibagikan kepada yang berhak setelah selesai pemakaman.
Menurut S.R.Nur.S.H, ilito taputo itu menjadi rebutan pelayat, sebab mempunyai berkah untuk menjadi kaya, pandai, jujur, rupawan, dan berbudi luhur.
3. Untuk para pimpinan negeri yang hadir diserahkan pula sedekah yang dikenal dengan urutan sebagai berikut :
- Wopato ode olongiya (yang empat kepada raja)
- Totolu ode bubato ( yang tiga untuk pejabat)
- Duluwo womba-wombato (yang dua untuk tokoh masyarakat)
- Tuwewu uwolo ta mo’alato (yang satu untuk fakir miskin)
Artinya :
o Tingkatan pertama : Olongiya lo lipu (Raja Negeri) dan Olongia lo agama ( kadhli), masing-masing memperoleh empat kati atau empat real termasuk pensiunan Bupati atau Walikota.
o Tingkatan kedua : yaitu Bubato yakni Jogugu, wuleya lolipu atau Camat, dan para imam masing-masing akan memperoleh tiga kati atau tiga real.
o Tingkatan ketiga : terdiri dari Buwatulo lo adati dan perangkatnya, masing-masing memperoleh dua real.
o Tingkatan keempat : yang tergolong fakir miskin baik dalam hal ekonomi, ilmu, maupun kesehatan, masing-masing akan memperoleh satu real.
Makna Sedekah
Makna sedekah maupun imbalan jasa tersebut secara umum, bahwa kebaikan-kebaikan maupun jasa-jasa baik yang dilakukan karena kemaslahatan masyarakat mempunyai nilai tinggi. Dalam pemberian itu materi hanyalah alat, sedang tujuannya adalah penghargaan atau penghormatan kepada jasa-jasa orang lain sesuai bidang tugasnya masing-masing.
Sedekah atau pemberian itu bagi keluarga adalah do’a, demikian pula terhadap yang meninggal. Kegembiraan dan keikhlasan bekerja para pelaksana merupakan do’a yang tidak dapat dinilai dengan materi.
HARI – HARI DOA ARWAH
A. Makna Hileyiya
1. Hileyiya adalah suatu kegiatan sosial dalam rangka kedukaan, arti kata hileyiya yaitu pemindahan, yaitu pemindahan kegiatan sosial yang berasal dari tetangga kepada yang berduka, seperti pemindahan dapur tetangga, kerumah yang berduka, agar dirumah tersebut ramai dan yang berduka terhibur. Hal ini merupakan bantuan kemanusiaan, karena kondisi dari yang berduka belum memperhatikan soal makan dan minumnya. Dengan memasak beramai – ramai dirumah kedukaan, merupakan takziah atau Duliyalo kepada keluarga yang berduka, disamping membantunya dengan bahan makanan. Dalam kegiatan hileyiya itu keluarga kedukaan mengadakan acara doa arwah sebagai permohonan kepada Tuhan agar meninggal memperoleh magfirahNya. Acara doa arwah tersebut belangsung pada hari – hari tertentu seperti hari pertama, ketiga , ketujuh dan seterusnya.
2. Duliyalo
Ada empat macam Duliyalo, dalam bentuk hiburan yaitu :
a. Dalam bentuk nasehat, para tamu berbicang- bincang agar keluarga duka bersabar dengan musibah duka yang menimpanya.
b. Dalam bentuk makanan, yaitu para tetangga dan keluarga, mengantarkan makanan yang masak kepada keluarga yang berduka. Dalam istilah adat kebiasaan ini disebut Dembulo.
c. Dalam bentuk pengumpulan dana yang dalam istilah adat“ DUMBIHU “. Dumbihi ini dimulai dengan membuat pagar dikolong rumah, berupa kurungan, dirumah kedukaan. Selama seminggu kurungan diisi dengan ayam oleh para tetangga dan handai tolan yang berikhlas hati membantu keluarga tersebut. Dembulo dan Dumbihu ini sudah jarang dilakukan.
d. Dalam bentuk permainan yang terdiri dari permainan Mo’awuta dan Mo totane. Permainan mo’awuta merupakan permainan dua orang yang saling berhadapan dengan menggunakan suatu alat yang disebut awuta. Bentuk alat permainan itu adalah sepotong papan yang panjangnya kira –kira 75 cm, lebar kira –kira 40 cm, dan tebalnya kira – kira 10 cm. Papan ini mempunyai dua deratan lubang searah panjang panjang papan dan lubang didisi dengan empat atau tujuh buah batu kecil sebesar kelereng. Dengan memindahkan batu – batu itu dari lubang satu kelubang yang lain dan seterusnya sampai tiba pada lubang yang kosong, seseorang mengakhiri permainannya dan diganti dengan kawan yang lain dan demikian seterusnya. Mototane adalah permainan dari anyaman benang – benang pada jari tangan. Apabila mencabutnya, maka kacaulah benang –benang itu seluruhnya.
Duliyalo ini bermakna kehidupan sosial bagi kehidupan manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan. Setiap manusia wajib menggembirakan saudaranya yang ditimpa kesusahan dengan berbagai macam cara. Kegembiraan adalah konsumsi yang paling utama di dunia yang fana ini, karena di dunia terdapat berbagai macam yang menyusahkan hati manusia.
Salanjutnya permainan – permainan diatas memberi ingat kepada manusia, bagaimana pun corak hidup diatas dunia ini pasti akan diakhiri dengan kematian. Maka ingatan kepada kematian harus menjadi motivasi bagi manusia untuk hidup yang layak, yaitu membuat jasa dan bersikap baik ditengah – tengah masyarakat lingkungannya.
B. Makna Hari –hari Arwah
1. Hari Pertama
Keyakinan menurut adat Gorontalo bahwa hari pertama merupakan hari penghancuaran atau hari tantangan bagi si mayat dalam kuburan. Untuk itulah keluarga harus membantu dengan melalui acara tahlil, sholat hadiah maupun dengan bacaan Al – Qur’an. Kegiatan acara ini dilaksanakan oleh syarak setelah waktu magrib. Selesai sholat magrib dilanjutkan dengan sholat hadiah dua rakaat, dan seterusnya tahlil dan membaca kitab suci Al-Qur’an dan malam ketujuh harus dihatam. Kegiatan selama malam –malam tersebut disertai dengan persiapan satu toples air bercampur bunga untuk disiramkan setiap pagi diatas kuburan oleh pegawai syarak. Makna kegiatan tersebut semuanya adalah ” WUBODU “ ( bantuan ) yang dikirim kepada mayat agar dia sekurang – kurangnya memperoleh keringanan dari siksa kubur. Bagi keluarga masih tetap bermakna Duliyalo, karena selama seminggu diadakan kegiatan dirumah keluarga yang berduka.
2. Hari Ketiga
Hari ketiga hanya merupakan hari musyawarah keluarga dalam menghadapi hari ketujuh, yang berlangsung pada malam hari setelah waktu magrib. Disampimg musyawarah diadakan pula tahlil dan doa. Pendapat lain bahwa hari ketiga merupakan hari arwah, sedang hari kelima tetap hari musyawarah menghadapi hari ketujuh. Oleh sebab itu malam ketiga itu hadir pula pegawai syarak untuk melaksnakan tugas tahlil dan doa. Demikian hari kelima adalah hari musyawarah untuk memepersiapkan segala sesuatunya sebagai keperluan hari ketujuh.
3. Hari Ketujuh
Hari ketujuh adalah hari arwah dimana undangan diperluas, sehingga upacaranya lebih ramai dari hari –hari sebelumnya. Yang mengikuti tahlil dan doa harus lebih banyak jumlahnya dari hari – hari sebelumnya. Hal tersebut mengandung makna bahwa pada hari itu adalah hari pemindahan roh dari dalam kelambu menuju pintu keluar rumah. Maka dalam perpindahannya itu perlu diantar dengan banyak zikir dan doa agar dia memperoleh keselamatan.
Selama tujuh hari sejak hari pemakaman keluarga yang berduka belum diperkenankan oleh adat melakukan kegiatan terutama mencuci pakain apalagi mandi. Hal ini bermakna larangan kepada yang berkeluarga dirumah kedukaan itu, agar selama seminggu belum melakukan kegiatan pertemuan laki istri. Perhatian semua anggota keluarga harus terpusat dulu kepada pemberian bantuan tahlil dan doa terhadap simayat dengan jalan mensucikan diri secara batiniah. Maksud suci mencapai tujuannya. Bahkan dahulu, memasak belum dibolehkan karena dapur rumah duka di non aktifkan.
Tetapi setelah acara tujuh hari selesai diadakan “ TIMU ‘ALO “ oleh keluarga sendiri yaitu pembersihan total. Roh sudah tidak berada didalam rumah, maka kesempatan keluarga untuk membersihkan segala peralatan, perabot yang ada didalam rumah itu. Keluarga sudah mandi sepuas –puasnya dan memakai dapurnya.
4. Hari Dua Puluh
Hari kedua puluh sama dengan hari ketiga sebagai hari musyawarah keluarga dalam menghadapi hari keempat puluh tetap juga diadakan tahlil dan doa oleh pegawai syarak atau undangan keluarga. Kalau pejabat negeri yang meninggal maka hal –hal yang dibicarakan dalam musyawarah itu. Yang bermusyawarah bukan saja keluarga yang berduka tetapi juga bersama Baate, Kadli dan Apitalawu. Hal –hal yang dibicarakan adalah :
a. Para pimpinan negeri yang akan diundang serta undangan umum.
b. Konsumsi terutama berhubungan dengan toyopo dan bakohati.
c. Jenis batu nisan yang dipersiapkan.
d. Alat pelengkap dan hiasan batu nisan termasuk usungan batu nisan semuanya disebut “ Tombulu lo pa’ita “.
e. Mempersipakan“ Tihuto pa’ita “ ( ikatan batu nisan ).yang maksudnya ialah sedekah untuk para pelaksana.
f. Memepersiapkan tinilo dan petugasnya.
g. Pelaksanaan tahlil dan doa Arwah.
h. Dan lain-lain.
Kegiatan Hari kedua puluh sama dengan hari ketiga berlangsung malam hari sesudah magrib. Yang berperanan juga pada malam itu adalah Baate selaku pimpinan – pimpinan adat. Apabila hari ke tigapuluh tiba, Bate akan mempermaklumkan hasil musyawarah tersebut kepada-kepada pemangku-pemangku adat dan pegawi syarak yang akan bertugas pada hari keempat puluh itu.
Khusus pemangku adat yang bertugas dalam bidang konsumsi pada hari ke empat puluh itu adalah dua orang kepala kampung yang berpulanga Ti Helingo atau Ti Boniku dan Ti Pentadio. Ti Hedingo tugas memegang dan mengawasi dan mengamati terutama dalam hubungan dengan pelayanan konsumsi. Itulah hal-hal penting yang disiapkan untuk hari keempat puluh itu.
5. Hari Keempat puluh
a. Kegiatan acara pada hari yang keempat puluh diawali dengan pelaksanaan Tinilo yang berlangsung mulai pukul sembilan sampai menjelang usungan nisan diangkat ke kubur. Petugas tinilo adalah kaum ibu yang terdiri dari empat sampai tujuh orang. Acara tinilo dilanjutkan dan berakhir pada saat nisan diturunkan dari usungannnya.
Tinelo tersebut dalam garis besarnya mengandung makna keselamatan mayat dalam kubur, keselamatan negeri dan rakyatnya serta kelestariannya adat itu sendiri.
Selanjutnya setelah undangan hadir, terutama para pemimpin negeri, para pemangku adat dan agama, maka baate mulai dengan acara pokok, pemberitahuan kepada kadli bahwa acara pokok akan dimulai, dan imam segera memimpin acara tahlil.Selesai tahlil dan doa dilanjutkan dengan acara santap. Sementara itu Tinilo berlangsung terus.
Pa’ita atau nisan untuk yang meninggal dipilih sesuai keinginan (Desigen) Keluarga. Usungannya dihiasi dengan Ka’abah, demikian pula Hiasan batu nisannya menandakan kebesaran dan kemuliaan.
Sebaiknya batu nisan adalah batu yang hidup, yaitu batu hitam yang disungai. Alasannya, bahwa batu yang hidup dapat bertasbih setiap saat, dan batu itu kian hari kian besar, sehingga tanda itu tetap ada sepanjang zaman.
Hiasan batu nisan, untuk wanita dipakaikan kebaya dan batiknya, untuk Mbu’i, kepala baya lo bo’ute dan panggala lo bili’u, dan laki-laki (olongiya) makuta dan kemeja.Maknanya, bahwa kebesaran dan kemuliaan sebagai raja telah berakhir di batu nisan, tinggal perbuatan-perbuatan yang baik selalu di kenang.
b. Dalam acara hari ke empat puluh tersebut disiapkan “DIDI” bukan dalam bentuk kain putih, tetapi bungkusan makanan yang disebut “Toyopo” dan “BAKOHATI”. Toyopo yaitu tempat makanan yang terbuat dari daun kelapa yang masih muda, isinya adalah lima macam kue, serta nasi bungkus :
Atupato (Ketupat)
Kue Tutulu (Cucur)
Putito Yilahe ( telur rebus)
Dagingi tilinanga (daging goreng)
Lutu (pisang masak)
Diatasnya ditancapkan sepotong buluh kira-kira 30 cm yang berisi duduli (dodol), sebagai lambang batu nisan. Toyopo pimpinan negeri, isinya untuk setiap jenis terdiri dari sepuluh buah, kecuali dodol hanya satu buah saja untuk bawahannya masing-masing jenisnya terdiri dari tiga buah saja.
Untuk bakohati isinya sama, namun bentuknya persegi lima, bahan pembungkus terdiri dari dua macam warna kertas minyak, putih dan biru langit. Bagi pimpinan negeri termasuk kadli, mendapat bakohati yang berisi uang satu real, dan berhak menerima minimal setiap orang empat bungkus. Untuk para bubato perangkatnya masing-masing memperoleh tiga bungkus, para undangan umum masing-masing memperoleh dua bungkus dan untuk anak-anak satu bungkus.
Setelah acara selesai, sambil menunggu saat acara mengatar usungan batu nisan kekuburan, maka toyopo dan bakohati, dibawa kehadapan pada pegawai syarak dan pemangku adat, untuk didoakan. Selesai doa, bakohati dan toyopo dibawa kembali kebelakang ditempatnya semula menunggu perintah pembagiannya. Pembagian bakohati ditangani oleh kaum ibu, sedang toyopo oleh kaum bapak. Perintah pembagian bakohati dan toyopo TIHUTA PA’ITA dan akan mengakat pa’ita, melalui acara tinilo
Adapun tinilo yang dilagukan sejak pukul 09.00 samapi mejelang pa’ita akan diangkat dari rumah sebagai berikut:
BISIMILLAH ALLAH MULIA : Dengan nama Allah yang Maha Mulia
MALO TO DULA BOTIYA : Pada hari ini
PA’ITA MALO BOLIYA : Nisan akan diganti.
SATRIA LO LIPU BOTIYA : Sebuah tanda kedua negeri ini
PA’ITANTO LO LIMUTU : Nisan dari negeri di Limboto
TO WALI LA’I NGOPUTU : Untuk laki-laki sepasang (dua)
TUWOTO JANJI OTUTU : Tanda perjanjian kedua negeri
TO WALI LA’I NGOPANGGALO : Untuk laki-laki Sepasang (dua)
TUWOTO JANJI
LO’U NGOPANGGALO : Tanda perjanjian dua negeri
TO LIMUTU LOHULONTALO : Limboto dan Gorontalo
PA’ITA HILAMALIYO : Nisan diambil sabagai tanda.
WOLO BUNGA – BUNGALIYIO : Diahiasi dengan bunga –bungaan
PALUWALA PAKELIYO : Simbol Kerajaan Pakaiannya.
SATRIA LO PO’OPIYO : Semua bersatu menghiasinya
PA’ITA LO WALI-WALI : Nisan keluarga Raja - raja
LONTO TIYOMBU ASALI : Dari leluhur asalnya
LO SATRIA AHALI : Persetujuan semua keluarga
LO HUTU LOPO’OWALI : Membuat dan mengadakannya
PA’ITA TILOMBULU : Nisan yang diadatkan
ADATI LO LINGULU : Dengan adat istiadat negeri ini
AHALI LO NGATURU : Keluarga yang mengaturnya
LONTO TIYOMBU DULU : Dari nenek moyang dahulu
PA’ITA LO NULA HUWA : Nisan dihiasi dengan indah
AADATI LO LAHUWA : Dengan adat istiadat negeri
ATURU LO LINGGUWA : Sesuai peraturan negeri
LONTO TIYOMBU TI’ UWA : Dari nenek moyang dahulu
PA’ITA ILO HELUMA : Nisan yang telah dimusyawarakan
LO’U DULUWO MODUNGA : Dengan kedua negeri Gorontalo Limboto
WOLO AHALI HELUMA : Dengan keluarga bersatu
PILILI BI’LUNGO BUNGO : Dibuat dengan sempurna
PA’ITA HAJARATI : Nisan yang dihajatkan
TILOMBULU LO AADATI : Dimuliakan dengan adat-istiadat
WOLO DU’A SALAWATI : Dengan doa selawat Nabi
OHUNA FAEDATI : Berguna dan bermanfaat
HENENGA SYARE’ATI : Hal ini sebagai syaraetnya
MALO TO TAREKATI : Sudah ada dalam tarekat
ODUNGGA HAKEKATI : Sampai pada hakekatnya
DULUNGO MAKRIPATI : Tujuan makrifat (TuhanYang Maha Esa)
Tinilo tersbut di atas berlaku untuk batu nisan Raja atau pimpinan negeri. Untuk wali-wali dan orang banyak yang mempunyai Tinilo pa’ita yang khusus sebagai berikut :
BISMI ALLAH ABDAATI : Dengan nama Allah Yang maha Kuasa
PA’ITA BADALIJATI : Nisan yang diatur baik
BOLIYA LO HAJARATI : Diganti dengan aslinya
O’HUNA FA’IDATI : Berguna dan bermanfaat
TO AHALI PUJILIYO : Keluarga yang memuji
LE DUNGGA AJALIYO : Ajalnya telah tiba
TI PAPA LO PO’OPIYO : Orang tua yangmemberi kebaikan
LO PI’U TO ASALILIYO : Sekarang sudah meninggal
DILE BANTA KASIYA : Istri anak yang disayangi
HIYOHUTA HITABIYA : Dalam kerinduan yang amat sangat
TI PAPA ILOHIDIYA : Bapak yang memelihara
MAYI LO LOLA DUNIYA : Sudah meninggal dunia
BANTA PITU MONGOLOLA’I : Tujuh orang anak laki-laki
DULUWO UMIRATI : Dua orang yang diperbaiki
HIYOLOLA LO SIPATI : Rindu dalam hati
TI PAPA MALO WAPATI : Bapak yang telah meninggal
TI PAPA MA YILO NAPI : Bapak yang telah yakin
LO TAHUDU WAPATI : Mendekati kewafatannya
BUTO’O SYARE’ATI : Dengan hukum syareat
MA YILOBU’A AADATI : Dia telah kembali
TI PAPA LO TABIYA : Bapak yang disayangi
MA YILO LOLA DUNIYA : Sudah meninggal dunia
DIDULU TA OHIDIYA : Tiada lagi tempat bermanja
HILAWO BOLO SABARIYA : Hati yg disabarkan
MONGO AHALI SAMUA : Kerabat seluruhnya
HITABIYA LO AYUWA : Rindu dengan kebiasaan
TI PAPA YILO PONUWA : Bapak telah tiada
MA YILO HIHI LO’AYUWA : Berpisah dengan kebiasaan
POHILEWO BARAKATI : Mohon berkat Allah
PONU WAWU RAHMATI : Kasih & rahmatnya
HENENGA TAWADDAHU : Mohon Kepada Yang Kuasa
MALO ODE BARAZUHU : Dengan ruhnya
ANNAF U BAQA DUHU : Memperoleh tempat yang mulia.
Selanjutnya Tinilo dalam rumah berakhir, usungan nisan akan di angkat menuju ke kubur , di ikuti dengan Tinilo pemangku adat, pegawai syarak, beserta tamu-tamu lainnya yang ingin berkunjung kepemakaman raja atau wali-wali mowali atau rakyat
Apabila batu nisan akan di angkat, Baate akan mengucapkan Tuja’i “Pominta’a Huhulihe Lo Pai’ta to delomo bele ke tangga (Tuja’i mengangkat usungan batu nisan dalam rumah ketangga). Ini hanya berlaku untuk batu nisan raja.Tuja’i pengangkat batu nisan sebagai berikut :
TA MALO TINGULI TO DATA : Yang kembali kepada asalnya
ODE TALU LO TA KAWASA : Kehadapan TuhanYang Maha Kuasa
WAKILILIYO PA’ITA ILATA : Dapat Dilihat Pada batu nisan yang indah ini.
BISMILLAH HUWATA : Dengan nama Allah angkatlah
BILOHI TAWU DATA : Dan lihatlah para hadirin.
Dilanjutkan dengan tuja’i menurunkan usungan dari tangga ke halaman dan seterusnya kekubur sebagai berikut :
PA’ITA DULA MULIYA : Nisan yang dihiasi indah.
WAWU UTUYA LO’OWALI MULIYA : Dan inilah tanda kemuliaan.
BISIMILLAH POLAAHULO : Dengan nama Allah turunkanlah
WAHU POPO’UTA OLO : Letakkanlah pada lengan tangan.
Bunyi Tinilo yang mengiringnya adalah :
BISIMILAH MOMU’ATO : Dengan nama Allah Nisan diangkat.
HAJARATI DILAPATO : Nisan telah persiapkan.
LO AHALI LO WUTATO : Dari keluarga dan ahli waris.
SATRIA LO TO NOPATO : Bersatu mengadakannya.
BAKOHATI SILADIYA : Bungkusan kue adat yang disiapkan.
BAKOHATI POPIDIYA : Akan disajikan.
TO AHALI HI HADIRIYA : Pada Handai tolan yang hadir.
WU’UDIYA LO HUNGGIYA : Itulah adat dari negeri.
AADATI LO HUWA : Adat dari Goa.
TIYOMBU PILOBUTUWA : Nenek moyang yang melahirkan adat ini.
TO’U DULUWO LINGGUWA : Pada kedua neger Gorontalo dan Limboto.
AADATI LO MADALA : Adat di negeri ini.
LO LIPU TO’U PANGGALA : Di negeri dwi tunggal
MODAHA MOMALIHARA : Menjaga dan Memelihara..
WAHU DILA LUMALA : Supaya tidak bercerai.
AADATI LO LONGGOTA : Adati sebagai peraturan.
BO’UNGO PILIPOTA : Dibuat secara sama.
DILA HI LABO –LABOTA : Tak ada merasa lebih.
TO’U DULUWO TONGGOTA : Didalam kedua negeri ini.
AADATI LO HUNGGIYA : Adat kedua negeri ini.
U MAA POLOJANJIAYA : Sudah diikat dengan janji.
LO LIPU DULUWO BOTIYA : Pada dua negeri ini.
DUDU – DUDU’O TADIYA : Dengan kekuatan sumpah.
RAHASIA SI NUHU : Manusia ruh yang halus.
MALO ODE BARAZUHU : Yang sudah kembali
HURI BATIRUHU : Berpisah badan dan ruh.
YORA YIQU AJALUHU : Menuju tempat asal.
MAUDAL JALIATI : Permohonan kepada Tuhan yang satu .
TO ALLAH MAGFIRATI : Kepada Allah yang Maha Pengampun.
DU’AWO OTAMBATI : Supaya mendapat tempat.
TO ADANANI JANNATI : Tempat dalam sorga.
TAMBATI POMULITA : Tempat yang terkhir mulia.
KAWASA LO RABBIKA : Dihadapan Tuhan yang Maha Kuasa.
MAA DIDU ILOLIPATA : Tidak dapat dihindar lagi.
BOLO MOWALI PA’ITA : Hanya tinggal mengganti batu nisan .
LAILAHA ILALLAH MUHAMMADARASULULLAH.
Tinilo menurunkan batu nisan dari usungannya dan dibawa keluar sebagai berikut :
BISIMILLAH MOMU’ATO : Dengan nama Allah akan mengangkat.
PA’ITA MAA DILAPATO : Nisan telah disiapkan.
LO WALADI MOHUTATO : Dari kedua negeri bersaudara.
TAA YILO TONOPATO : Yang telah menyempurnakan.
POHILEYA ODE ALLAH : Bermohon kepada Allah.
AMBUNGUWOLIYO TOTALA : Diampuni segala kesalahan.
BAANGALIYO TO DALA : Diterangi jalan.
TO PADENGO MUHUSARA : Dipadang Mahsyar.
PO HI;E’U ODE ALLAH : Minta kepada Allah.
WOLO NABI MURSALA : Dengan Nabi yang tinggi derajatnya.
U DIILA TALA TO DALA : Agar tidak sesat jalan.
RAJI’U BI AWALA : Untuk menghadapi pemeriksaan.
POHILELO ODE ZATI : Minta Kepada Allah
TUMA’O TO RAPI – RAPI : Mendapat rahmatnya.
MO’OTODUWO TAMBATI : Mendapat tempat yang suci.
TO ALLAH TUWAWU ZATI : Dihadapan Tuhan yang suci.
POHILE ODE TUHANI : Minta kepadaTuhan Yang Maha Kuasa.
TO MALIKIL RAHMANI : Yang empunya semua rohmat.
PAHALO TO QUR’ANI : Pahala dalam Al-Quran.
ODELO TO PARAMANI : Seperti yang dinyatakan dalam ayat-ayatNya.
POHILE TO RASULUH : Doa Kepada Rasul.
TO RABBUL GAFURU : Kepada Tuhan pengampun.
ZUMIRATI WARASULUH : Yang dapat dicapai dengan safaat Rasul
TO DELOMO KUUBURU : Didalam kuburan.
MOHAMMADAN RASULUH
LA ILAHA ILALLAH.
MOHAMMADI HABIBULLAH.
Seterusnya Pa’ita akan ditanam dengan tuja’i sebagai berikut :
MAA POHILE’U TO NABI WAWU
RASUL : Kumohon Kepada Nabi dan Rasul .
MOPIYOHU UMURU : Kebaikan hayat.
MO’OTINELO KUBURU : Diterangi kubur.
LO TINELO NURRU : Dengan Cahaya Nur
Dalam menanam batu nisan ada 2 ( dua) cara :
1. Sesuai cara yag aslinya, batu nisan ditanam rapat dibagian tengah kuburan, sebab dibahagian tengah itulah kekuatan manusia yang diberikan Allah yaitu SULBI. Sulbi itulah yang dinilai tinggi oleh adat dan dari sanalah sumber manusia . apabila kata sujud maka zulbi lebih tinggi oleh adat dan dari sanalah sumber manusia . Apabila kita sujud maka zulbi lebih tinggi dari kepala yang berisi otak. Isi sulbi itulah yang kelak akan menghadap Allah pada hari Kiamat.
2. Cara lainnya adalah meletakkan batu nisan pada bagian kuburan dimana kepala mayat berada. Hal ini bermakna bahwa kepala harus dilindungi karena kepala berisi otak yang berfungsi sebagai akal. Dan akalah yang mengatur manusia hidup dunia ini.
Kalau batu nisan 2 ( dua ) buah, maka yang satu nama ditanam dibagian kalbu ( hati ) mayat itu. Hal itu merupakan pertanda adanya nafsu yang berkekuatan tinggi, yang menjadi pendorong berbuat kebaikan atau mungkin pula sebaliknya.
Setelah batu nisan ditanam dilanjutkan dengan acara menyirami pa’ita atau batu nisan dengan air campur bunga. Hal ini bermakna agar rahmat yang telah dimohonkan kepada Allah akan mengalir secara lancar sampai kepada jenazah yang bersangkutan.
Selesai menyiram batu nisan diteruskan dengan talkin dan doa arwah dan diakhiri dengan jabatan tangan oleh para pengiring usungan terhadap keluarga yang berduka.
Setelah berada kembali di yiladiya atau dirumah duka, baate mengatur tempat duduk kembali dan memaklumkan kembali kepada kadli untuk “Mongo’alo Huhulo’a” atau membubarkan formasi duduk, dan dapat kembali ke rumah masing-masing. Kadli mengambil tempat duduk disebelah kanan pimpinan negeri dan mengucapkan tuja’i sebagai berikut :
MAA LO LIMOMOTA’MA’O DU’A : Sudah sempurnalah doa
LO ARUWA LI WUTATONTO EYA : Arwah saudara Tuanku
MOTITNGOLE, MOMULANGATOPO : Beristirahat dan mandilah
ITO EYA,…..EYANGGU : Tuanku,….Tuanku
Apabila selesai seluruh hari-hari peringatan arwah maka tugas keluarga tinggallah memperingati kematiannya setiap tahun yang dalam istilah adat disebut : “MOHAWULU”.
BUSANA ADAT DUKA
1. Busana adat keluarga yang berduka
a. Dari segi bentuk busana adat, pada umumnya sama baik para pemangku adat, pegawai syarak maupun keluarga yang berduka. Bagi kaum pria memakai bentuk Takowa atau baju kin, sedang wanita memakai bentuk Galenggo yang sama dengan bentuk baju Takowa, bagian dada terbuka 10 cm.
b. Warna pakaian kedukaan sejak hari pertama sampai hari ketiga puluh sembilan adalah busana berwarna putih. Maknanya, selama tiga puluh sembilan hari sejak awal pemakaman, kesayangan keluarga masih dalam keadaan MOLAMAHU ( suci ), atau kesayangan yang masih penuh.
c. Apabila tiba hari peringatan keempat puluh, keluarga yang berduka memakai baju warna biru langit dalam bahasa daerah Gorontalo disebut warna “Wobulo” makan warna Wobulo adalah pertanda bahwa rasa duka keluarga sudah mulai menghilang
d. Pada hari ke seratus warna busana diganti dengan warna biru tua atau warna hitam. Hal ini bermakna bahwa seluruh keluarga kembali bertaqwa kepada Allah, Mempersiapkan diri untuk kembali kehadiratNya.
2. Busana para undangan.
a. Para undangan memakai busana sama dengan busana yang berduka, sesuai statusnya masing-masing, misalnya Baate, pegawai syarak dan para bubato (pejabat). Makna busana putih ini sebagai Duliyaloatau hiburan bagi keluarga yang berduka, bahwa para undanganpun turut berduka cita.
b. Rasa turut mendoakan menyatu dalam keseragaman busana duka tersebut.
3. Pesta gembira dari tetangga yang berduka.
a. Apabila salah seorang tetangga orang yang berduka secara kebetulan mengadakan pesta gembira, maka pelaksanaannya memerlukan izin dan persetujuan dari keluarga yang berduka. Persetujuan itu terjadi apabila ada musyawarah kedua belah pihak. Yang boleh bermusyawarah adalah kedua Ibu rumah tangga, dan tidak diperkenankan dimusyawarakan oleh kedua Bapak, karena yang memegang acara-acara dirumah adalah kaum Ibu.
b. Secara adat Gorontalo, Ibu yang mengadakan pesta harus mempersiapkan TONGGU (uang penghormatan) kepada Ibu yang berduka sejumlah satu real yang di isi dalam tempat sirih pinang, lengkap dengan sirih pinangnnya sekali.
c. Caranya sebiji pinang dan sebatang sirih ditusukkan pada ujung sebuah pisau kecil, dan di isi pula dalam tempat sirih pinang itu.
d. Tempat sirih pinang ( pomama ), diikat dengan kain putih sebagai tanda duka, sedangkan pisau ang ditusukan pada pinang dan sirih sebagai tanda ikut berduka yang mendalam .
e. Keduanya diletakkan diatas baki, diSatriangi dan dibawa oleh seorang ibu. Tiba dirumah duka, salah seorang Ibu yang berduka menjemputnya.
f. Setelah ibu yang berhajat melalui membuat pesta mengucapkan permohonanannya, yakni makan sirih pinang didalamnya, menandakan bahwa yang berduka menyetujui pesta gembira tetangga itu.
g. Tempat sirih pinang itu dibawah kembali dan diikat dengan kain merah sebagai tanda persetujuan oleh keluarga yang berduka. Ijin dan persetujuan semacam ini hanya berlaku sampai hari keempat puluh sesudah itu tak perlu lagi persetujuan.
Dalam kehidupan masyarakat Gorontalo, orang berduka harus dihargai dan dijaga agar hatinya tidak luluh. Itulah sebabnya apa bila terjadi kedukaan yang disekitar rumah juga hendaklah turut merasakan kedukaan tersebut. Masyarakat Gorntalo yang mementingkan kerukunan bersama dan senasip sepenanggungan itu selalu mewujudkan adanya rasa tanggung jawab bersama. Bahkan dalam cara berbusana pun disesuaikan untuk datang ketempat duka.
Izin untuk mengadakan pesta gembira apabila terjadi kedukaan merupakan suatu pertanda bahwa keluarga yang berpesta itu ikut berduka dengan tetangganya. Oleh sebab itu mereka harus minta izin sebelum mengadakan pesta gembira tersebut. Dismping itu hal tersebut merupakan pertanda bahwa orang yang berduka sebenarnya harus dijaga batinnya, agar tidak hancur karena kedukaan bahkan anak keluarga harus menghiburnya. Makna adat tersebut, adalah ketertiban tata krama dan turut merasakan apa yang diderita oleh orang lain.
PELAKSANAAN MASA KINI
A. Pelaksnaan Umum
Pelasanaan masa kini merupakan praktek yang masih nyata dalam masyarakat adat Gorontalo. Hal ini dapat kita saksikan pada :
1. Bagi jenazah Tuango Lipu
Bagi masyarakat biasa yang menonjol adalah aspek agama dibandingkan dengan aspek adat. Dalam pelaksanaannya tidak dikenal
- Tu’adu Tolitihu ( tangga adat ).
- Generang Hantalo atau Tuja’i.
- Ka’abah sebagai hiasan usungan.
- Usungan Lo Huwa.
- Mopodidi.
- Toyopo dan bakohati.
- Musyawarah – musyawarah keluarga yang dihadiri oleh pemangku – pemangku adat yang dipimpim oleh Baate.
- Mogara’i dan lain – lainnya
1.1 Penggalian kubur.
Dalam kegiatan penggalian kubur, bagi masyarkat biasa tidak ada petugas khusus menggali kubur. Setelah selesai diukur dan dipola oleh pegawai syarak dikampung yakni Hatibi atau Syarada’a, maka siapa saja boleh ikut menggali kubur. Ramai – ramai pula mereka mempersipakan perlengkapan kuburan lainnya, seperti, bambu/ papan penutup dan duwalo.
1.2 Memandikann
Unsur adatnya adalah mandi rumah, atau Taluhu Ongola’a, atau mandi penadahuluan sebelum mandi wajib, yang dilakukan sendiri oleh keluarga, selanjutnya mandi wajib, dilaksanakan oleh pegawai syarak / pa’ili dan dibantu oleh keluarga, diakhiri pula dengan mandi air Li duyo.
1.3 Mengafani.
Membuat pola kain kafan diaksanakan oleh pegawai syarak dikampung, yaitu Hatibi dan Bilale. Setelah kain kafan selesai dipola, diadakan tahlil, sedang jenaah sementara dimandikan terus dikafani.
1.4 Shalat jenazah.
Selesai dikafani, jenazah disapkan untuk dishalat. Imam shalat jenazah adalah pegawai syarak dikampung yaitu Syaradaa atau Hatibi.
1.5 Pemakaman .
Usungan jenazah tuango lipu adalah usungan biasa saja, tanpa kaabah dan bulati’o bagi jenazah laki- laki atau tanpa bulati’o bagi jenazah perempuan. Usungan itu diiringi dengan dua Satriang, toples berisi air dan baki bunga rampai. Cara pelaksanaan dikuburan sama dengan acara pelaksanaan jenazah Raja. Hanya pelaksanaannya adalah pegawai – pegawai syarakdikampung yang bersangkutan.
1.6 Acara dirumah Kedukaan.
Ada tiga macam acara keluarga yang berduka :
a. Mengadakan Takziah selama tiga hari berturut – turut.
b. Acara takziah dan acara doa arwah hari pertama, hari ketiga, hari kelima dan hari ketujuh, digabung secara berturut pelaksanaannya. Biasanya takziah yang mendahuluinya, kemudian dilanjutkan dengan doa arwah.
c. Melulu arwah saja mulai dari hari pertama ketiga, kelima, ketujuh, kedua puluh, kempempat puluh dan seterusnya sampai ketiga ratus hari. Hari acara arwah yang meriah adalah hari yang keempat puluh. Acara ini disebut HILEYIYA. Pada hari –hari hileyiya biasanya diadakan HEYIYA. Heyiya alah kegotong royongan dalam bidang kedudukan, bentuknya seperti arisan. Kelompok keluarga yang dekat menentukan kewajiban setiap anggotanya, bila ada musibah kematian dalam kekuarga itu. Misalnya si A harus menbawa air, si B harus memasak, si C harus membawa beras. Dengan penentuan kewajiban ini, bila seorang anggota keluarga kena musibah kematian ahli warisnya tidak perlu bersusah payah menyediakan ini dan itu. Kelompok hileyiaya itu berpindah pidah pada setiap orang yang kena musibah kematian.
Sebelum perang dunia ke II, kewajiban itu diganti dengan uang sebesar satu real / ( $ 1.60 ) perorang. Pembukuannya dipegang oleh juru kalam atau oleh seorang anak muda yang sudah / sedang bersekolah. Upahnya 10 % dari besarnya jumlah yang terkmpul. Disini dianut, jumlah anggota peserta yang tetap, sehingga jika seorang tidak membayar maka ia dihitung berhutang.
Salah satu kegotong royongan dalam kedudukan adalah yang disebut DEMBUKO. Perbedaannya dengan Hileyiya, yaitu hileyiya harus dibayar, sedangkan dembulo berupa sumbangan yang bagaimanapun besarnya tidak perlu dibayar kembali.
Pada hari keempat puluh saat penggantian batu nisan. Acara meliputi :
a. Pengganti batu nisan. Batu nisan dihiasi dengan memakai kekja biasa dan kopiah, untuk laki-laki, baju dan baya Lo bo’ulle untuk wanita.
b. Dibuatkan usungan untuk batu nisan yang ditutup dengan Ka’abah, tetapi dipuncak tiang ka’abah tidak memakai apa-apa.
c. Acara Tinilo yang dimulai sejak pagi sampai diangkatnya usungan batu nisan sekitar pukul 13.00. kemudian Tinilo dilanjutkan untuk mengawal iringan batu nisan.
PENYESUAIAN DENGAN PEMBANGUNAN
Pembakuan aspek adat pemakaman Gorontalo, perlu diarahkan agar bermanfaat dalam membentuk jati diri Propinsi Gorontalo.
Dalam aspek adat pemakaman, ada sifat-sifat mental yang diperlukan untuk mempertinggi kapasitas membangun, seperti adanya nilai yang berorientasi kepada kemahiran bekerja, nilai sosial yang berorientasi kepada membuat jasa untuk kepentingan orang banyak, sikap parsitipatif terhadap suatu pekerjaan yang dilakukan oleh orang lain.
Banyak hal-hal yang dapat dilestarikan terus didalam aspek pemakaman secara adat itu antara lain ; - musyawarah
- rasa solidaritas
- tolong menolong
- menghormati hak orang lain
- mengembangkan sikap tenggang rasa
- lain – lain
Namun disamping itu banyak pula hal-hal yang perlu dipertimbangkan didalamnya, yaitu hal-hal yang memperlihatkan perbedaan derajat, karena turunan, pemborosan waktu, material maupun tenaga, yang sukar dipertahankan lagi.
Yang diharapkan dalam hal aspek adat agar pemakaman tersebut adalah penyesuaian dengan tuntutan pembangunan nasional berupa kelestarian dan pemerataan pembangunan yang dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat yang ada.
Demikian pula tentang Dulialo atau hiburan kepada keluarga yang berduka baik dalam bentuk nasihat, seni maupun dalam bentuk material perlu dipelihara terus karena adat sesuai dengan ketentuan ajaran Islam.
BAB IV
CERITA RAKYAT DESA SATRIA
1. Sejarah Singkat Terbentuknya Desa Satria
1. Sejarah Desa Satria
Desa Satria Merupakan pemekaran desa Paris sejak tanggal 12 Maret tahun 1992 yang dahulunya masih bergabung dengan Kecamatan Boliyohuto dan menjadi Penjabat pertama kali di desa Satria adalah Bapak Yusuf N.Dau selaku penggerak Pemerintahan, Pemabngunan dan Kemasyarakatan.
Pada tanggal 15 April tahun 1995 secara serentak simbolis Desa Persiapan Satria telah diresmikan menjadi Desa definitive yakni Desa Satria Kecamatan Boliyohuto yang diresmikan langsung oleh Gubernur Sulawesi Utara di Kecamatan Kotabunan Kabupaten Bolaang Mongondow Provinsi Sulawesi Utara dengan SK BKDH Nomor 95 Tahun 1995 tertanggal 31 Maret 1995.
Nama Desa Satria diambil dari atas perjuangan tiga orang ABRI bersama kelompok Masyarakat.
Lokasi ini sementara dibuka berdasarkan hak buka yang resmi pada masa pimpinan Bapak Daud Taha pada tahun 1997 dan lokasi tersebut menjadi rebutan antara penduduk transmigrasi Jawa dari Desa Sidomukti dan Sidodadi dan akhirnya perjuangan Kesatria bersama sehingga lokasi tersebut dinamakan Dusun Satria Kecamatan Paguyaman dan sampei dengan sekarang telah menjadi nama desa Satria Kecamatan Mootilango Kabupaten Gorontalo.
Sejak pemerintahan Bapak Yusuf N. Dau, desa ini star mulai dari Nol % begitupun dari Desa Paris sebagai Desa Induk yang luas 3,24 KM2 yang terdiri dar lading, sawah tadah hujan, gunung – gunung dan bukit dengan jumlah penduduk 983 jiwa dan 97 Kepala Keluarga.
2. Sejarah Pemerintahan Desa Satria
Karena panjangnya rentang perjalanan kepemimpinan di desa, maka sejarah Pemerintahan Desa Satriayang sampai pada penyusunan laporan ini dapat digambarkan dalam daftar dibawah ini :
No Periode Nama Kepala Desa Keterangan
1 1994 s/d 1996 YUSUF N. DAU Definitif
2 1996 s/d 2003 IMRAN YUSUF Definitif
3 2003 FARID DJAFAR Plt
4 2003 s/d 2009 DARWIN BAKRI Definitif
5 2009 AKUB KAI Plt ( 6 Bulan )
6 2009 s/d 2015 DARWIN BAKRI Definitif
Sejarah Pembangunan Desa Satria
No Tahun Kegiatan Pembangunan Keterangan
1 2008 Pembangunan Balai Desa APBD
2 2005 Pembangunan Mesjid Al Muhajirin Dsn Motobuloo Swadaya+APBD
3 2003 Pembangunan Masjid Nurut Taqwa Dsn Tonggu – tonggu Swadaya +APBD
4 2008 Pembangunan Rumah Sehat 2 Unit APBD
5 2013 Pembangunan Irigasi APBD
6 2003 Pembangunan MCK APBD
7 2012 Pembuatan Jalan Usaha Tani Dusun Motobuloo 796 M PNPM – MP
8 2010 Pembuatan Jalan UsahaDusun Motobuloo Tani 875 M PNPM – MP
9 2011 Pembuatan Jalan Usaha Dusun Tonggu – tonggu Tani 769 M PNPM – MP
10 2005 Pembangunan Mahyani 15 Unit APBD
11 2011 Pembangunan PUSTU APBN
12 1986 Pembangunan SDN 10 Mootilango APBN
13 2003 Pembangunan MTs An – Nuur Mootilango APBN
14 2009 Pembangunan PAUD/TK PNPM – MP
15 2011 Pembuatan Drainase PNPM – MP
16 2007 Pembangunan Mahyani 30 Unit APBD
3. Struktur Pemerintahan Desa
B. Keagamaan
Sebagian besar penduduk Satria100 % beragama Islam , Agama lain yang dianut adalah Protestan dan Katolik,
C. Sarana Pendidikan
Terdapat beberapa sarana pendidikan yaitu :
Taman Kanak kanak.
D. SARANA PELAYANAN MASYARAKAT
Terdapat beberapa kantor instansi yang bertugas melayani masyarakat yang terdapat di Satria seperti :
Kantor Desa.
Pustu
Sekretaiat BPD
E. Perkembangan Agama Islam
Masuknya Agama Islam di Desa Satria Kecamatan Mootilango Kabupaten Gorontalo tak lepas dari sejarah masuknya Agama Islam di Provinsi Gorontalo, seiring dengan berganti waktu Agama Islam ini masuk ke pelosok – pelosok desa termasuk Desa Satria dengan catatan sejarah secara global adalah sebagai berikut.
Peneliti sejarah sosial dari Universitas Negeri Gorontalo, Basri Amin, menjelaskan mengenai proses masuk Islam ke Gorontalo. "'Sekitar 1525, Islam mulai masuk dalam wilayah kerajaan ini. Islam dibawa oleh sang raja saat itu, Raja Amai," ujarnya seperti yang dilansir kepada Republika.
Masuknya Islam pada waktu itu melalui jalur perkawinan. Bermula dari Raja Amai yang menikahi putri dari kerajaan Palasa, bernama Owutango. Kerajaan Palasa ini berada di Teluk Tomini dan rajanya sudah menganut agama Islam. Sang putri sendiri punya hubungan keluarga dengan pihak kerajaan di Ternate, yang telah lebih dahulu mengenal Islam.
Dosen Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Negeri Gorontalo, Mohammad Karmin Baruadi, juga menjelaskan sejarah kerajaan Gorontalo dalam tulisannya yang berjudul Sendi Adat Dan Eksistensi Sastra: Pengaruh Islam Dalam Nuansa Budaya Lokal Gorontalo. Dalam tulisannya beliau menyebutkan bawah Tokoh yang sangat berperan dengan pemikirannya yang religius Islami adalah istri Amai sendiri yang bernama putri raja Palasa.
Ketika Raja Amai ingin meminang putri raja Palasa, sang putri yang berasal dari kerajaan Islam di Sulawesi Tengah inipun mengajukan beberapa persyaratan sebagai berikut :
1. Pertama, Sultan Amai dan rakyat Gorontalo harus diislamkan dan,
2. Kedua, adat kebiasaan dalam masyarakat Gorontalo harus bersumber dari Alquran.
Kedua syarat itu diterima oleh Raja Amai. Di sinilah awal Islam menjadi kepercayaan penduduk Gorontalo, dalam tulisan Mohammad Karmin Baruadi.
Sebelum menikah Raja Amai mengumpulkan seluruh rakyatnya. Raja Amai dengan terang-terangan mengumumkan diri telah memeluk agama Islam secara sah dan kemudian meminta seluruh pengikutnya untuk melakukan pesta meriah. Pada pesta tersebut Raja Amai meminta kepada rakyatnya untuk menyembelih babi disertai dengan pelaksanaan sumpah adat. Saat pendeklarasian sumpah tersebut, adalah hari terakhir rakyat Gorontalo memakan babi.
Usai proses sumpah adat, Raja Amai kemudian meminta rakyatnya untuk masuk Islam dengan membaca dua kalimat syahadat. Ia sendiri kemudian mengganti gelarnya dengan gelar raja Islam, yaitu sultan.
Prinsip hidup baru ini, mudah diterima oleh masyarakat Gorontalo saat itu, yang tidak tersentuh oleh Hindu-Buddha. Masyarakat merasakan tidak ada pertentangan antara adat dan Islam, namun justru memperkuat dan membimbing pelaksanaannya.
Pada 1550, sepeninggalan Sultan Amai, jabatan kerajaan digantikan oleh putera mahkotanya, Matolodula Kiki. Sultan kedua kesultanan Gorontalo ini menyempurnakan konsep kerajaan Islam yang dirintis oleh ayahnya. Beliau pun melahirkan rumusan adati hula-hula'a to sara'a dan sara'a hula-hula'a to adati, yang artinya adat bersendi syarak, syarak bersendi adat. Islam dan adat, saling melengkapi.
Islam resmi menjadi agama kerajaan ketika kesultanan Gorontalo ada di bawah pemerintahan Sultan Eyato. Konsepnya pun berubah, mirip dengan prinsip masyarakat Minangkabau, adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah. Di bawah kepimpinannnya, Kesultanan Gorontalo mencapai puncak kejayaan.
Bagi masyarakat Uduluwo limo lo Pohala’a Gorontalo (serikat kerajaan di bawah dua kerajaan Gorontalo dan Limboto), syarak kitabullah dipahami bahwa hukum dan aturan-aturan yang berlaku bersumber dari kitab suci Alquran dan hadis Rasulullah SAW.
Pada masa itu, beberapa perubahan dilakukan, menjadi lebih Islami. Sistem pemerintahannya kini didasarkan pada ilmu akidah atau pokok-pokok keyakinan dalam ajaran Islam.
Dalam ilmu akidah tersebut diajarkan dua puluh sifat Allah SWT, untuk itu Eyato mewajibkan sifat-sifat itu menjadi sifat dan sikap semua aparat kerajaan mulai dari pejabat tertinggi sampai dengan jabatan terendah. Sumpah-sumpah dan adat istiadat yang dipakai, bersumber pada Islam.
Penerapan sistem budaya Islam pada sikap dan perilaku pejabat tersebut telah mengawali pemantapan karakteristik budaya Islam dalam kehidupan masyarakat Gorontalo.
Eyato sendiri awalnya memang seorang ahli agama dan cendekiawan. "Sebelum menjadi raja, Eyato merupakan seorang hatibida'a yang tergolong ulama pada masa itu," tulisnya. Semuanya dikenal sampai di desa Satria
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
B.
Asal usul Desa Satria tidak terlepas dari sebuah desa yang sarat dengan kegiatan keagamaan, bernuansa religius dan terkenal taat dan patuh terhadap aturan agama maupun aturan dan perundang – undangan yang berlaku serta giat dalam memajukan perekonomian baik dalam lingkup keluarga maupun desa. Untuk mengetahui desa Satria terdapat dua versi yaitu :
1. Nama Desa Satria diambil dari atas perjuangan tiga orang ABRI bersama kelompok Masyarakat. Lokasi ini sementara dibuka berdasarkan hak buka yang resmi pada masa pimpinan Bapak Daud Taha pada tahun 1997 dan lokasi tersebut menjadi rebutan antara penduduk transmigrasi Jawa dari Desa Sidomukti dan Sidodadi dan akhirnya perjuangan Kesatria bersama sehingga lokasi tersebut dinamakan Dusun Satria Kecamatan Paguyaman dan sampei dengan sekarang telah menjadi nama desa Satria Kecamatan Mootilango Kabupaten Gorontalo.
2. Pada tanggal 15 April tahun 1995 secara serentak simbolis Desa Persiapan Satria telah diresmikan menjadi Desa definitive yakni Desa Satria Kecamatan Boliyohuto yang diresmikan langsung oleh Gubernur Sulawesi Utara di Kecamatan Kotabunan Kabupaten Bolaang Mongondow Provinsi Sulawesi Utara dengan SK BKDH Nomor 95 Tahun 1995 tertanggal 31 Maret 1995.
B. Saran
Sepanjang pengetahuan Pemerintah Desa, belum ada ahli sejarah atau tokoh lokal yang menulis tentang sejarah/ Desa Satria, sehingga Pemerintah Desa perlu dan berharap semoga usaha ini akan menggugah para sejarawan atau tokoh lokal untuk memperhatikan, melakukan penelitian dan mengembangkan masalah yang berkaitan dengan sejarah atau Desa Satria, yang pada gilirannya dapat bermanfaat bagi generasi selanjutnya.
Satria, 11 Agutus 2014
KEPALA DESA SATRIA
DARWIN BAKRI
Langganan:
Komentar (Atom)